Hati Yang Terbelenggu
Pertengahan Nopember tahun lalau, ketika aku tengah celingukan mencari mobil carteran menuju Puncak karena sudah waktunya buka tutup. Aku mencari taksi disekitar terminal Bus Damri di dekat Botani Plaza Bogor. Tiba tiba ada seseorang yang memegang tasku dan ketika aku menoleh dia tersenyum lebar dan menegurku Horassssssss. Sekejab aku terpana, tapi akhirnya aku ingat, dia adalah temenku, tegasnya dia adalah anak dari pemilik warung diseputaran Jalan Kaliurang Yogyakarta, tempat aku bayar makan. Yoga nama panggilannya. Sebenarnya dia enam tahun lebih muda dariku, karena ketika aku meraih gelar sarjana mudaku, dia masih kelas tiga smp. Anaknya ramah, sopan, terampil dan sangat periang. Itu yang membuatku selalu bersedia membantunya kalau dia kesulitan menyelesaikan tugas tugas di sekolahnya. Ketika aku diwisuda, Yoga baru masuk kelas tiga SMA, dan sejak itu kami tidak pernah lagi berjumpa. Kemana Yoga melanjutkan sekolahnya juga aku tidak tau. Dua puluh tahun sudah berlalu, dan nggak disangka, kami bertemu di kota yang sama sekali tidak kuduga akan menemukannya. Cukup panjang basa basi kami, sampai akhirnya dia bertanya kemana tujuanku sebenarnya. Dan ketika kujelaskan bahwa aku ada Rapat di Hotel Puncak Raya…dia menawarkan mengantarku kesana, dengan syarat kami bersama sama dulu kerumahnya untuk minta ijin dengan istrinya. Itung itung bisa kenalan dengan anak istrinya fikirku.
Rupanya Yoga yang periang itu sekarang menjadi Branch Manager sebuah Bank Swasta di kota Bogor. Ekonomi sudah memenuhi standar, mempunyai anak dua orang, dan seorang istri yang cantik. Dia memang tidak mengatakan supaya kenalan dengan istrinya, karena ternyata istrinya adalah orang yang aku sudah kenal juga, tetangganya yang merupakan keluarga pengusaha batik dan sablon yang cukup besar di Jalan Kaliurang. Aku kenal mereka karena setiap kali ada kegiatan mahasiswa yang membutuhkan spanduk dan kaos yang disablon, aku selalu menempahnya di tempat mertua Yoga tersebut. Maka pertemuan kami bertiga menjadi semakin seru. Kelakar dan canda kamiyang berkepanjangan membuat jadwal berangkat ke Puncak jadi molor. Dalam pengamatanku, Yoga dapat kukatakan telah mencapai sukses yang pernah diidamkannya pada masa remajanya. Walaupun masih ingin bercengkerama lebih panjang, waktu telah memaksa kami untuk berpisah, dan akupun diantar Yoga dengan mobil Grand Livinanya. Untuk mencapai Puncak Raya, kami mencari jalan alternatif melalui bukit bukit dan sela sela perumahan masyarakat, lewat Cipendawa dan seterusnya. Ketika sampai di Hotel, aku melapor ke Panitia dan mendapatkan tempat sesuai dengan aturan. Ketika aku bertanya kepada Yoga gimana pulangnya, dia menjawab…gampang. Dia permisi sebentar dan menyeberang, kemudian dalam seperempat jam dia udah kembali tanpa mobil Grand Livina nya.
Ketika kutanya dimana mobil, dia menjelaskan bahwa dia akan pulang besok subuh aja, dan dia ingin ngobrol samaku dalam sisa waktu malam ini, dan dia telah memesan kamar di hotel seberang, yakni Hotel Ussu. Untuk menghargai Yoga, aku tidak ikut makan di tempat yang sudah disediakan Panitia, tapi kami pergi makan ke sebuah warung sate di Simpang Mega Mendung, Cipayung. Sambil bercanda aku katakan bahwa aku sebaiknya nggak usah sate kambing, sate ayam aja. Kalau nanti naik tensi susah cari obatnya. Kalau kamu nggak apa apa, obat tensi kan menunggu dirumah. Dia menanggapi gurauanku dengan renyah, tapi ada kalimat yang dicapkannya membuatku jadi bertanya. Ada ungkapan bahwa wanita tak semerdeka laki laki, sekalipun laki laki sering dikendalikan oleh nafsunya. Maka terungkaplah sedikit disharmoni dalam rumah tangga Yoga, tanpa aku sadari sama sekali. Yoga adalah seorang laki laki tampan dan ganteng, dalam umurnya yang sekarang empat puluhan, masih sangat mudah bagi dia menggaet gadis gadis cantik, apalagi dia memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Tapi dihadapanku dia menumpahkan duka laranya dalam membangun tirai kasih keluarga. Akhirnya kami putuskan untuk meneruskan perbincangan ini dk kamar hotel saja, karena kalau di warung sate nampaknya privasi kurang mengijinkan.
Sebelum berpacaran dengan Yoga, Lily (istri Yoga) sudah pernah mengenal seorang pemuda anak pengusaha yang sangat kaya dari kota Balikpapan. Laki laki itu kuliah di sebuah sekolah seni rupa di kota Yogyakarta. Disamping orangtuanya yang menjadi pelanggan kaos kaos bersablon dari usaha m orangtua istri Yoga, dia juga sering berkreasi di perusahaan batik dan sablon itu. Pemuda itu berpribadi halus, berdarah seni dan anak orang kaya. Sosok yang sangat ideal bagi seorang Lily yang pada saat itu juga masih berusia tujuh belasan tahun. Nasib berkata lain, pemuda pujaannya itu ternyata sudah memiliki jodoh di Pulau Kalimantan yang jauh itu. Kepergian pemuda itu setelah menyelesaikan studynya dan akhirnya memimpin cabang perusahaan orang tuanya di kota Makassar Sulawesi Selatan, memisahkan Lily dengan pemuda itu. Mungkin, Lily memebrikan semua yang ada dalam dirinya untuk disentuh pertama sekali adalah oleh pemuda pujaannya itu. Ya remasan jemarinya buat pertama kali oleh seorang laki laki, ya pelukan mesra dan indah dari seorang laki laki, ciuman bibir yang indah dari seorang laki laki, semuanya berasal dari pemuda itu. Pemuda itu cukup jentlemen, karena ternyata kehormatan dan kegadisan Lily masih utuh, ketika pemuda itu meninggalkan Yogya Tatkala waktu telah berlalu, Lily juga sudah membuka hatinya kembali, Yoha pun datang. Saat itu Yoga sedang menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta. Yoga telah tertempa menjadi manusia ibukota.
Kecekatannya dan keterampilan serta keramah tamahannya membuat orang tua Lily kepincut. Lily pun dibentuk secara halus untuk menjadi kekasih Yoga. Pembinaan hubungan yang didukung orang tua keduabelah pihak berjalan suksess. Tahun kedua Yoga telah bekerja tepatnya tiga tahun mereka berpacaran, janur kuningpun dilengkungkan. Jadilah Lily menjadi Nyonya Prayoga. Tahun pertama, lahir putra pertama, tahun ketiga lahir si Putri, lengkaplah kebahagiaan mereka. Tempat bertugas juga berpindah pindah, dari pertama di Jakarta pindah ke Semarang, dari Semarang ke Magelang, dari Magelang sekarang di Bogor. Nampaknya semuanya berjalan dengan baik dan penuh keindahan. Tapi malam ini, sebuat tirai disingkapkan Yoga kepadaku. Aku tersentak juga, kendatipun awalnya aku menanggapinya dengan menunjukkan sikap bahwa halitu hanya masalah yang sangat remeh. Ada sebuah tugas yang berat yang dimintakan oleh Yoga untukku, yakni bertanya tentang sesuatu hal kepada istrinya. Aku belum bisa memutuskan untuk menyanggupi, karena aku tidak ingin ada eksess yang bisa membuat anak anaknya menderita. Menurut cerita Yoga, pernikahannya cukup bahagia. Lily adalah seorang istri yang mengabdi dan setia. Soal istrinya cantik, toh aku juga sudah melihatnya sendiri sejak remaja. Yang menjadi ganjalan yang sangat berat bagi Yoga adalah bahwa dalam jalinan hubungan suami istri, Yoga menilai sikap istrinya tidak total. Ada sikap sikap tertentu yang menurut Yoga adalah lumrah saja tetapi istrinya menolak sikap itu. Sebaliknya hal yang lebih vulgar saja dia mau melakukannya. Sehingga Yoga merasa frustrasi mengalami hal hal seperti itu. Ketika aku bertanya apa saja yang dia selalu tidak total, kelihatannya remeh tapi kalau didalami memang mengherankan.
Lily selalu gugup dan tanpa sadar melakukan perlwanan kalau Yoga mencium bibirnya. Dan sikap itu membuat Yoga merasa ragu atas keutuhan cinta Lily terhadapnya. Yoga melihat ada satu keganjilan disitu tapi juga ada logika. Bisa jadi Lily menerima Yoga berdasarkan daya nalar. Bahwa Yoga berasal dari keluarga baik baik, berbadan sehat, atletis dan diyakininya normal sebagai laki laki. Bahwa Yoga juga mempunyai masa depan yang sangat baik, dia tidak penjudi, dia tidak pemabuk, dia punya karir bagus, lalu apalagi? Semua sudah lengkap sebagai syarat utama dijadikan suami. Makal Lily menerima Yoga dengan daya nalarnya. Lalu hatinya bagaimana? Yoga mengakui bahwa istrinya mengabdi dengan penuh terhadap keluarga, tidak ada cacatnya. Kecuali satu, bahwa dalam hubungan cinta, selalu Yoga yang meminta. Seingat Yoga, Lily tak pernah meminta. Pada tahun awal pernikahan mereka, Yoga membesarkan hati dengan fikiran, Lily masih malu malu. Setelah lama mungkin tak akan demikian. Tapi tetap saja tak ada perubahan. Perihal ciuman bibir yang sangat mengganjal pikiran Yoga akhirnya menjadi pintu penyingkap rahasia yang sudah tersimpan hampir duapuluh tahun.
Satu kali diadakan malam amal untuk disumbangkan bagi korban gempa Yogya, dan semua orang yang diketahui alamatnya dan dinilai ada kemampuan ekonomi diundang ke Yogya. Termasuk Yoga dan sipemuda asalKalimantan itu. Didalam acara itu, Lily dengan pemuda itu bertemu, dan sebuah ledakan emosi ditumpahkan Lily tanpa malu. Dia menangis tersedu sedu dalam pelukan laki laki luar pulau itu. Dalam keadaan sangat kacau balau Yoga membiarkan hal itu terjadi, dan dia bersikap seolah olah kejadian itu biasa saja. Sedihnya lagi, Lily bertingkah seolah tidak terjadi apa apa, dan Yoga sungguh merasa diabaikan malam itu, kendatipun sebenarnya dalam acara namanya selalu disebut sebut oleh master of ceremony. Usai perhelatan malam dana itu, Yoga dan Lily nginap di Hotel, sementara sepasang anak tidur dirumah si Mbah di Jalan Kaliurang.
Sesampai di dalam kamar, hati Yoga sudah tawar, tapi sebaliknya dengan Lily, disergapnya suaminya penuh dengan hasrat asmara. Yang mengagetkan Yoga adalah bagwa istrinya penuh semangat berusaha melumat bibirnya. Malam itu sungguh luar biasa. Lyli mengambil alih semua peranan dalam percintaan mereka. Bahkan esok paginya, Lily mencium pipinya mesraaaa sekali.
Perubahan ini membuat Yoga semakin merana dan penuh tanda tanya. Sandiwara apalagi ini????? Tolong Mas, carikan klarifikasi, sebab sejak kami pulang dari Yogya itu, semua seperti terbalik. Aku jadi galau mas. Demikian Yogamenceritakan kepadaku. Pagi itu aku menelpon Yoga, bahwa aku ingin dibelikan tiket pulang ke Medan penerbangan malam. Dan kami berjanji akan ketemu di foodcourt Bogor Plaza jam kana siang. Kebetulan dia mengajak istri dan anaknya yang perempuan. Jadilah kami makan berempat di Plaza itu sambil memandang lepas kearah pegunungan kawasan Puncak. Sebagaimana sudah disetting oleh Yoga, dia mengajak anak bungsunya keluar untuk membeli asinan buat oleh oleh ke Medan. Jadilah aku tinggalberdua dengan Lily, dan Yoga telah membisikkan kepadaku, supaya diklarifikasi keanehan yang dialaminya itu. Aku mulai cerita tentang masa depan batik dan usaha sablon, yang akhirnya menjurus ke cerita usaha batik sang seniman. Aku mencoba bercerita dan bertanya sewajar mungkin, sampai akhirnya pokok pembahasan sampai kepada kata kata apakah dia mencintai pemuda luar pulau itu. Yang semula aku janjikan kepada Yoga bahwa aku akan mengorek cerita tanpa melibatkan namanya, akhirnya aku langgar. Aku pertanyakan semuanya dengan caraku sendiri. Awalnya dia mengelak dan mengatakan bahwa gara gara pertanyaanku nanti rumah tangganya rusak. Tapi katakan bahwa, justru kalau kamu tidak bisa menjelaskan, kamu akan kehilangan anak dan suami. Dugaan Yoga benar. Bahwa Lily masih mencintai pemuda itu dalam dalam. Dan dia masih ingin mempertahankan sesuatu yang masih menjadi lambang cinta mereka berdua, tak boleh dinodai oleh siapapun, termasuk suaminya sendiri. Dia masih berharap, kelak satu saat mereka bisa mewujudkan cintanya dengan bentuk yang dia sendiri tidak bisa membayangkan. Hampir duapuluh tahun kesucian lambang cinta mereka dapat dipertahankan, dan setiap kali dia melakukan percintaan dengan suaminya, dia membisikkan kata maaf dan minta ijin kepada pemuda itu. Bahkan dalam hatinya berharap bahwa anak yang dilahirkannya itupun bukan benih Yoga, tapi benih yang secara gaib datang dari luar pulau. Begitu nikmatnya dirasakan Lily dalam menjadikan dirinya korban percintaan, dan dijalaninya penuh semangat, pengorbanan secara kodrati sebagai seorang perempuan.
Tapi semua itu menjadi titik balik ketika dia bertemu pemuda itu di perhelatan malam dana korban gempa itu. Laki laki itu begitu nakalnya, begitu liarnya, dan membisikkan ajakan agar merancang pertemuan tanpa sepengetahuan Yoga. Ketika Lily mempertanyakan apakah mereka bisa mempertautkan cinta yang tertunda dan terhalang, laki laki setengah tua itu langsung menolak. Hancurlah harapan Lily untuk bersatu dengan pujaan hatinya. Dan tiba tiba dia merasa sangat bodoh. Laki laki yang selama ini digambarkannya dalam jiwanya sebagai seorang pahlawan, ternyata hanya seorang laki laki yang mau enaknya saja. Sangat jauh dengan Yoga yang sabar dan penuh pengertian. Tiba tiba dia merasa tercampak kedalam kubangan sampah, betapa bodohnya dia selama ini menyia nyiakan Yoga dan menyemayamkan laki laki itu dalam hatinya hampir duapuluh tahun. Dan dia ingin menebus dosanya. Dia ingin mengabdi kepada suaminya. Tapi justru itu membuat Yoga semakin tak mengerti. Mendengar ceita itu aku ikut merasa terluka. Alangkah tidak beruntungnya Yoga. Andaikata akulah Yoga, betapa terhinanya cintaku. Aku tertunduk, dan mengatakan kepada Lily supaya dia berhenti menangis, karena malu dilihat orang. Aku merasa terpojok, harus berkata apa kepada Yoga.
Ketika Yoga dan anaknya datang menenteng bungkusan asinan Bogor itu, aku baru sadar bahwa Yoga saat ini sudah sangat ceria. Begitu sampai di meja kami, Yoga langsung mengecup kening istrinya, istrinya mengucapkan kata kata syukur dan terima kasih. Aku berkata dalam hati, kabut penghalang itu sudah sirna. Maka ketika Yoga menawarkan menemani sampai Cengkareng dengan naik Damri, aku menolaknya dan mengatakan bahwa semuanya sudah diselesaikan. Semoga Pengabdian Lily dengan rasa bersalahnya menyembuhkan semua luka.
Komentar Terbaru