Oleh: Sony | Februari 28, 2010

JENDELA HATI

Hati Yang Terbelenggu

                Pertengahan Nopember tahun lalau, ketika aku tengah celingukan mencari mobil carteran menuju Puncak karena sudah waktunya buka tutup. Aku mencari taksi disekitar terminal Bus Damri di dekat Botani Plaza Bogor. Tiba tiba ada seseorang yang memegang tasku dan ketika aku menoleh dia tersenyum lebar dan menegurku Horassssssss. Sekejab aku terpana, tapi akhirnya aku ingat, dia adalah temenku, tegasnya dia adalah anak dari pemilik warung diseputaran Jalan Kaliurang Yogyakarta, tempat aku bayar makan. Yoga nama panggilannya. Sebenarnya dia enam tahun lebih muda dariku, karena ketika aku meraih gelar sarjana mudaku, dia masih kelas tiga smp. Anaknya ramah, sopan, terampil dan sangat periang. Itu yang membuatku selalu bersedia membantunya kalau dia kesulitan menyelesaikan tugas tugas di sekolahnya. Ketika aku diwisuda, Yoga baru masuk kelas tiga SMA, dan sejak itu kami tidak pernah lagi berjumpa. Kemana Yoga melanjutkan sekolahnya juga aku tidak tau. Dua puluh tahun sudah berlalu, dan nggak disangka, kami bertemu di kota yang sama sekali tidak kuduga akan menemukannya. Cukup panjang basa basi kami, sampai akhirnya dia bertanya kemana tujuanku sebenarnya. Dan ketika kujelaskan bahwa aku ada Rapat di Hotel Puncak Raya…dia menawarkan mengantarku kesana, dengan syarat kami bersama sama dulu kerumahnya untuk minta ijin dengan istrinya. Itung itung bisa kenalan dengan anak istrinya fikirku.

                      Rupanya Yoga yang periang itu sekarang menjadi Branch Manager sebuah Bank Swasta di kota Bogor. Ekonomi sudah memenuhi standar, mempunyai anak dua orang, dan seorang istri yang cantik. Dia memang tidak mengatakan supaya kenalan dengan istrinya, karena ternyata istrinya adalah orang yang aku sudah kenal juga, tetangganya yang merupakan keluarga pengusaha batik dan sablon yang cukup besar di Jalan Kaliurang. Aku kenal mereka karena setiap kali ada kegiatan mahasiswa yang membutuhkan spanduk dan kaos yang disablon, aku selalu menempahnya di tempat mertua Yoga tersebut. Maka pertemuan kami bertiga menjadi semakin seru. Kelakar dan canda kamiyang berkepanjangan membuat jadwal berangkat ke Puncak jadi molor. Dalam pengamatanku, Yoga dapat kukatakan telah mencapai sukses yang pernah diidamkannya pada masa remajanya. Walaupun masih ingin bercengkerama lebih panjang, waktu telah memaksa kami untuk berpisah, dan akupun diantar Yoga dengan mobil Grand Livinanya. Untuk mencapai Puncak Raya, kami mencari jalan alternatif melalui bukit bukit dan sela sela perumahan masyarakat, lewat Cipendawa dan seterusnya. Ketika sampai di Hotel, aku melapor ke Panitia dan mendapatkan tempat sesuai dengan aturan. Ketika aku bertanya kepada Yoga gimana pulangnya, dia menjawab…gampang. Dia permisi sebentar dan menyeberang, kemudian dalam seperempat jam dia udah kembali tanpa mobil Grand Livina nya.

                        Ketika kutanya dimana mobil, dia menjelaskan bahwa dia akan pulang besok subuh aja, dan dia ingin ngobrol samaku dalam sisa waktu malam ini, dan dia telah memesan kamar di hotel seberang, yakni Hotel Ussu. Untuk menghargai Yoga, aku tidak ikut makan di tempat yang sudah disediakan Panitia, tapi kami pergi makan ke sebuah warung sate di Simpang Mega Mendung, Cipayung. Sambil bercanda aku katakan bahwa aku sebaiknya nggak usah sate kambing, sate ayam aja. Kalau nanti naik tensi susah cari obatnya. Kalau kamu nggak apa apa, obat tensi kan menunggu dirumah. Dia menanggapi gurauanku dengan renyah, tapi ada kalimat yang dicapkannya membuatku jadi bertanya. Ada ungkapan bahwa wanita tak semerdeka laki laki, sekalipun laki laki sering dikendalikan oleh nafsunya. Maka terungkaplah sedikit disharmoni dalam rumah tangga Yoga, tanpa aku sadari sama sekali. Yoga adalah seorang laki laki tampan dan ganteng, dalam umurnya yang sekarang empat puluhan, masih sangat mudah bagi dia menggaet gadis gadis cantik, apalagi dia memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Tapi dihadapanku dia menumpahkan duka laranya dalam membangun tirai kasih keluarga. Akhirnya kami putuskan untuk meneruskan perbincangan ini dk kamar hotel saja, karena kalau di warung sate nampaknya privasi kurang mengijinkan.

                             Sebelum berpacaran dengan Yoga, Lily (istri Yoga) sudah pernah mengenal seorang pemuda anak pengusaha yang sangat kaya dari kota Balikpapan. Laki laki itu kuliah di sebuah sekolah seni rupa di kota Yogyakarta. Disamping orangtuanya yang menjadi pelanggan kaos kaos bersablon dari usaha m orangtua istri Yoga, dia juga sering berkreasi di perusahaan batik dan sablon itu. Pemuda itu berpribadi halus, berdarah seni dan anak orang kaya. Sosok yang sangat ideal bagi seorang Lily yang pada saat itu juga masih berusia tujuh belasan tahun. Nasib berkata lain, pemuda pujaannya itu ternyata sudah memiliki jodoh di Pulau Kalimantan yang jauh itu. Kepergian pemuda itu setelah menyelesaikan studynya dan akhirnya memimpin cabang perusahaan orang tuanya di kota Makassar Sulawesi Selatan, memisahkan Lily dengan pemuda itu. Mungkin, Lily memebrikan semua yang ada dalam dirinya untuk disentuh pertama sekali adalah oleh pemuda pujaannya itu. Ya remasan jemarinya buat pertama kali oleh seorang laki laki, ya pelukan mesra dan indah dari seorang laki laki, ciuman bibir yang indah dari seorang laki laki, semuanya berasal dari pemuda itu. Pemuda itu cukup jentlemen, karena ternyata kehormatan dan kegadisan Lily masih utuh, ketika pemuda itu meninggalkan Yogya Tatkala waktu telah berlalu, Lily juga sudah membuka hatinya kembali, Yoha pun datang. Saat itu Yoga sedang menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta. Yoga telah tertempa menjadi manusia ibukota.

                                Kecekatannya dan keterampilan serta keramah tamahannya membuat orang tua Lily kepincut. Lily pun dibentuk secara halus untuk menjadi kekasih Yoga. Pembinaan hubungan yang didukung orang tua keduabelah pihak berjalan suksess. Tahun kedua Yoga telah bekerja tepatnya tiga tahun mereka berpacaran, janur kuningpun dilengkungkan. Jadilah Lily menjadi Nyonya Prayoga. Tahun pertama, lahir putra pertama, tahun ketiga lahir si Putri, lengkaplah kebahagiaan mereka. Tempat bertugas juga berpindah pindah, dari pertama di Jakarta pindah ke Semarang, dari Semarang ke Magelang, dari Magelang sekarang di Bogor. Nampaknya semuanya berjalan dengan baik dan penuh keindahan. Tapi malam ini, sebuat tirai disingkapkan Yoga kepadaku. Aku tersentak juga, kendatipun awalnya aku menanggapinya dengan menunjukkan sikap bahwa halitu hanya masalah yang sangat remeh. Ada sebuah tugas yang berat yang dimintakan oleh Yoga untukku, yakni bertanya tentang sesuatu hal kepada istrinya. Aku belum bisa memutuskan untuk menyanggupi, karena aku tidak ingin ada eksess yang bisa membuat anak anaknya menderita. Menurut cerita Yoga, pernikahannya cukup bahagia. Lily adalah seorang istri yang mengabdi dan setia. Soal istrinya cantik, toh aku juga sudah melihatnya sendiri sejak remaja. Yang menjadi ganjalan yang sangat berat bagi Yoga adalah bahwa dalam jalinan hubungan suami istri, Yoga menilai sikap istrinya tidak total. Ada sikap sikap tertentu yang menurut Yoga adalah lumrah saja tetapi istrinya menolak sikap itu. Sebaliknya hal yang lebih vulgar saja dia mau melakukannya. Sehingga Yoga merasa frustrasi mengalami hal hal seperti itu. Ketika aku bertanya apa saja yang dia selalu tidak total, kelihatannya remeh tapi kalau didalami memang mengherankan.

                              Lily selalu gugup dan tanpa sadar melakukan perlwanan kalau Yoga mencium bibirnya. Dan sikap itu membuat Yoga merasa ragu atas keutuhan cinta Lily terhadapnya. Yoga melihat ada satu keganjilan disitu tapi juga ada logika. Bisa jadi Lily menerima Yoga berdasarkan daya nalar. Bahwa Yoga berasal dari keluarga baik baik, berbadan sehat, atletis dan diyakininya normal sebagai laki laki. Bahwa Yoga juga mempunyai masa depan yang sangat baik, dia tidak penjudi, dia tidak pemabuk, dia punya karir bagus, lalu apalagi? Semua sudah lengkap sebagai syarat utama dijadikan suami. Makal Lily menerima Yoga dengan daya nalarnya. Lalu hatinya bagaimana? Yoga mengakui bahwa istrinya mengabdi dengan penuh terhadap keluarga, tidak ada cacatnya. Kecuali satu, bahwa dalam hubungan cinta, selalu Yoga yang meminta. Seingat Yoga, Lily tak pernah meminta. Pada tahun awal pernikahan mereka, Yoga membesarkan hati dengan fikiran, Lily masih malu malu. Setelah lama mungkin tak akan demikian. Tapi tetap saja tak ada perubahan. Perihal ciuman bibir yang sangat mengganjal pikiran Yoga akhirnya menjadi pintu penyingkap rahasia yang sudah tersimpan hampir duapuluh tahun.

                             Satu kali diadakan malam amal untuk disumbangkan bagi korban gempa Yogya, dan semua orang yang diketahui alamatnya dan dinilai ada kemampuan ekonomi diundang ke Yogya. Termasuk Yoga dan sipemuda asalKalimantan itu. Didalam acara itu, Lily dengan pemuda itu bertemu, dan sebuah ledakan emosi ditumpahkan Lily tanpa malu. Dia menangis tersedu sedu dalam pelukan laki laki luar pulau itu. Dalam keadaan sangat kacau balau Yoga membiarkan hal itu terjadi, dan dia bersikap seolah olah kejadian itu biasa saja. Sedihnya lagi, Lily bertingkah seolah tidak terjadi apa apa, dan Yoga sungguh merasa diabaikan malam itu, kendatipun sebenarnya dalam acara namanya selalu disebut sebut oleh master of ceremony. Usai perhelatan malam dana itu, Yoga dan Lily nginap di Hotel, sementara sepasang anak tidur dirumah si Mbah di Jalan Kaliurang.

                              Sesampai di dalam kamar, hati Yoga sudah tawar, tapi sebaliknya dengan Lily, disergapnya suaminya penuh dengan hasrat asmara. Yang mengagetkan Yoga adalah bagwa istrinya penuh semangat berusaha melumat bibirnya. Malam itu sungguh luar biasa. Lyli mengambil alih semua peranan dalam percintaan mereka. Bahkan esok paginya, Lily mencium pipinya mesraaaa sekali.

                              Perubahan ini membuat Yoga semakin merana dan penuh tanda tanya. Sandiwara apalagi ini????? Tolong Mas, carikan klarifikasi, sebab sejak kami pulang dari Yogya itu, semua seperti terbalik. Aku jadi galau mas. Demikian Yogamenceritakan kepadaku. Pagi itu aku menelpon Yoga, bahwa aku ingin dibelikan tiket pulang ke Medan penerbangan malam. Dan kami berjanji akan ketemu di foodcourt Bogor Plaza jam kana siang. Kebetulan dia mengajak istri dan anaknya yang perempuan. Jadilah kami makan berempat di Plaza itu sambil memandang lepas kearah pegunungan kawasan Puncak. Sebagaimana sudah disetting oleh Yoga, dia mengajak anak bungsunya keluar untuk membeli asinan buat oleh oleh ke Medan. Jadilah aku tinggalberdua dengan Lily, dan Yoga telah membisikkan kepadaku, supaya diklarifikasi keanehan yang dialaminya itu. Aku mulai cerita tentang masa depan batik dan usaha sablon, yang akhirnya menjurus ke cerita usaha batik sang seniman. Aku mencoba bercerita dan bertanya sewajar mungkin, sampai akhirnya pokok pembahasan sampai kepada kata kata apakah dia mencintai pemuda luar pulau itu. Yang semula aku janjikan kepada Yoga bahwa aku akan mengorek cerita tanpa melibatkan namanya, akhirnya aku langgar. Aku pertanyakan semuanya dengan caraku sendiri. Awalnya dia mengelak dan mengatakan bahwa gara gara pertanyaanku nanti rumah tangganya rusak. Tapi katakan bahwa, justru kalau kamu tidak bisa menjelaskan, kamu akan kehilangan anak dan suami. Dugaan Yoga benar. Bahwa Lily masih mencintai pemuda itu dalam dalam. Dan dia masih ingin mempertahankan sesuatu yang masih menjadi lambang cinta mereka berdua, tak boleh dinodai oleh siapapun, termasuk suaminya sendiri. Dia masih berharap, kelak satu saat mereka bisa mewujudkan cintanya dengan bentuk yang dia sendiri tidak bisa membayangkan. Hampir duapuluh tahun kesucian lambang cinta mereka dapat dipertahankan, dan setiap kali dia melakukan percintaan dengan suaminya, dia membisikkan kata maaf dan minta ijin kepada pemuda itu. Bahkan dalam hatinya berharap bahwa anak yang dilahirkannya itupun bukan benih Yoga, tapi benih yang secara gaib datang dari luar pulau. Begitu nikmatnya dirasakan Lily dalam menjadikan dirinya korban percintaan, dan dijalaninya penuh semangat, pengorbanan secara kodrati sebagai seorang perempuan.

                         Tapi semua itu menjadi titik balik ketika dia bertemu pemuda itu di perhelatan malam dana korban gempa itu. Laki laki itu begitu nakalnya, begitu liarnya, dan membisikkan ajakan agar merancang pertemuan tanpa sepengetahuan Yoga. Ketika Lily mempertanyakan apakah mereka bisa mempertautkan cinta yang tertunda dan terhalang, laki laki setengah tua itu langsung menolak. Hancurlah harapan Lily untuk bersatu dengan pujaan hatinya. Dan tiba tiba dia merasa sangat bodoh. Laki laki yang selama ini digambarkannya dalam jiwanya sebagai seorang pahlawan, ternyata hanya seorang laki laki yang mau enaknya saja. Sangat jauh dengan Yoga yang sabar dan penuh pengertian. Tiba tiba dia merasa tercampak kedalam kubangan sampah, betapa bodohnya dia selama ini menyia nyiakan Yoga dan menyemayamkan laki laki itu dalam hatinya hampir duapuluh tahun. Dan dia ingin menebus dosanya. Dia ingin mengabdi kepada suaminya. Tapi justru itu membuat Yoga semakin tak mengerti. Mendengar ceita itu aku ikut merasa terluka. Alangkah tidak beruntungnya Yoga. Andaikata akulah Yoga, betapa terhinanya cintaku. Aku tertunduk, dan mengatakan kepada Lily supaya dia berhenti menangis, karena malu dilihat orang. Aku merasa terpojok, harus berkata apa kepada Yoga.

                                      Ketika Yoga dan anaknya datang menenteng bungkusan asinan Bogor itu, aku baru sadar bahwa Yoga saat ini sudah sangat ceria. Begitu sampai di meja kami, Yoga langsung mengecup kening istrinya, istrinya mengucapkan kata kata syukur dan terima kasih. Aku berkata dalam hati, kabut penghalang itu sudah sirna. Maka ketika Yoga menawarkan menemani sampai Cengkareng dengan naik Damri, aku menolaknya dan mengatakan bahwa semuanya sudah diselesaikan. Semoga Pengabdian Lily dengan rasa bersalahnya menyembuhkan semua luka.

Iklan
Oleh: Sony | Agustus 16, 2009

SENANDUNG DI BUKIT PADANG SAMBO

Duhai betapa udara perbukitan begitu  dingin menusuk

Bersama jatuhnya rinai gerimis senja

Hari petang meremang  menuju gelap

Diperladangan perbukitan  Padang Sambo

 

Janganlah menangis dinda jangan terlara lara adikku sayang

Kendatipun ayahannda kita senja ini tidak akan kembali pulang kerumah

Kita doakan ayahanda selamat dalam medan gerilya

Mengawal rakyat mempertahankan kemerdekaan

Yang baru saja di Proklamirkan oleh Sukarno Hatta.

Dinda kecilku sayang….

Senandung sendu kami dikala senja

Di perbukitan Padang Sambo

 

Dindaku dinda putra bungsu….

janganlah engkau menangis tak habis henti

Memanggil ayahanda…pahlawan jiwa

Biarlah ayahanda kita selamat dalam medan pertempuran

dan segera kembali dari tugas bergerilya

Membawa berita yang menyenangkan hati

 

 Hatiku luka mendengar tangismu dinda

Rintihan rindu adinda bungsu…

Diperbukitan Padang Sambo

Ditengah rinai gerimis dingin menusuk kalbu

——————-puisi ini kupersembahkan untuk ayahanda tercinta bersama segenap saudara seperjuangannya eks TNI Sektor III/Sub Terr VII,- (Napindo Halilintar) DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA (17-8-1945 ….. 17-8-2009)

Oleh: Sony | Agustus 16, 2009

SUARA SENDU (Mengenang Perang 1947-1949)

Sayup sayup
Senyap mengalun
Suara rintihan sendu sedu sedan mendayu dayu
Bak rintihan berganti jeritan hati luka
Menggaung jauh sampai diujung erbukitan
Dan menuju keheningan diatas sebuah makam
Makam sang Pahlawan

Lihat..asap mengepul
Pertanda kampung kampung telah dibumi hanguskan
Airmata para yatim dan kaum janda mengalir deras
Suara rintih pun mengaduk aduk haru dan duka
Semua untuk Mempertahankan KEMERDEKAAN

Langitpun sudah hitam kelam kepulan asap kampung yang dibakar
Air Laut pun memerah aliran darah para pejuang yang tertumpah
Rawa dan paya pun menguning aliran air mata segenap anak bangsa yang berduka
Ini semua untuk sebuah makna MERDEKA

Maka tegarlah duhai saudara saudaraku penerus bangsa
Jangan bercanda, jangan bergurau dalam mengelola pertiwi ini
Sebab
Nyawa, darah dan airmata telah banyak dipertaruhkan untuk kemerdekaan negeri tercinta ini
Janganlah sia sia pengorbanan para pejuang kita

Mari sambutlah segenap anak negeri
Beri harga dan hormat kepada kaum veteran pejuang
Bimbing dan dukung seluruh putra putri pejuang yang telah jadi yatim piatu
Rasa cinta dan kasih sesama dalam satu kandang bangsaku Indonesia
Sebab hanya itulah cita cita mereka
Para pahlawan ketika mereka berangkat menuju medan perang

Oleh: Sony | Mei 4, 2009

TERMAKAN BUALAN

KERETA API PUN KUMAKAN ASALKAN KECIL

Setiap kali melihat pohon karet yang besar bercabang, tanpa sengaja aku selalu teringat dengan seorang sohibku bernama Firman. Ada kenangan yang sangat berkesan dan tak akan pernah kulupakan dengan sohib yang satu ini.

Balai Laki                                                       Foto: Wikipedia

Balai Laki Foto: Wikipedia

Cerita ini berkisah pada pertengahan tahun delapan puluhan, ketika kami masih sangat muda belia. Kejadian ini berlangsung di Bumi Baja Sampai Kaputing, yakni di perbatasan antara Propinsi Kalimantan Selatan dengan Kalimantan Timur. Pada waktu itu kami, sekelompok insinyur muda yang baru turun gunung menuju dunia persilatan, ditugaskan oleh sebuah Perusahaan Konsultan untuk melakukan inventarisasi sumberdaya alam guna sebuah proyek pembangunan bersekala nasional. Kami merupakan tim yang utuh, terdiri dari dua pemuda batak, satu pemuda sunda, tiga pemuda jawa, satu pemuda melayu, satu lagi pemuda betawi.

Dengan latar belakang kehidupan dan universitas yang berbeda-beda, kami menjadi satu tim yang sangat komplit. Termasuk keterampilan diluar keahlian akademik. Sohibku Firman ini sangat mahir bermain gitar, dan pandai berdendang melayu. Maka setiap kali kami pindah kamp karena pergeseran lokasi kerja, maka Firman lah pemuda yang paling cepat dikenal oleh masyarakat setem[pat. Karena keluwesannya, dan karena kekocakannya. Orangnya juga sangat rendah hati.

 Satu ketika, kami terpaksa berhenti melakukan survai karena kami keperogok dengan ular yang sangat besar, yang merayap diatas pogon rambung dan masuk kedalam gua di percabangan Sungai Uya dengan Sungai Ayu. Keesokan harinya, kami diundang oleh bapak Pembakal (Kepala Desa) untuk menyaksikan penangkapan ular tersebut. Dan memang sungguh mendebarkan. Ketika para bapak bapaknya melemparkan gumpalan ilalang kering yang sudah dibakar kedalam gua, akhirnya ular itu melompat keluar gua. Seketika juru tombak melemparkan lembingnya persis pada leher ular itu, dan ularnya menggeliat meratakan seluruh rumput dan tanaman disekitar dataran itu. Kemudian empat orang mengangkat kayu dan menindih leher ular itu, selanjutnya digergaji dengan gergaji mesin (chain-saw). Dalam sekejab putuslah leher ular itu. Dalam sejurus ular itu masih bisa bergerak kesana kemari tanpa kepala. Merinding bulu romaku melihat ular yang bergerak tanpa kepala dan berlumuran darah.

Kemudian dua laki laki membawa dua batang bambu yang masih lumayan muda. Ujungnya yang sebesar ibu jari ditusukkan ke leher ular, dan selanjutnya ular diseret mengikuti alur sungai menuju desa. Sampai di tepian desa, ular dibersihkan dan silepaskan kulitnya. Setelah dilebarkan, pada bagian perut ular itu mencapai lebar 66 cm, dapatlah dibayangkan besarnya ular tersebut. Panjangnya saja sampai 14 meter. Kulit ular itu dijual dengan harga Rp 450.000 kepada seorang pedagang yang beroperasi di kecamatan daerah survai kami. Dan uang itu masuk kedalam kas desa.

 Kemudian oleh penduduk dibuatkan satu tempat pemanggangan dari kayu panjang, dan setelah dibelah bagian perutnya, bagian punggung ular tersebut dililitkan ke batang pemanggangan, kemudian dipanggang diatas api, seperti layaknya membuat kambing guling. Tubuh ular itu dirajah dengan pisau kemudian diolesi dengan bumbu-bumbu dan dipanggang sampai matang.

 Adapun rekanku Firman, pada hari itu tidak di desa, karena ditugaskan bersama dua orang pemuda kampung menjemput peralatan survai ke kota Tabalong, sehingga dia tidak melihat proses penangkapan ular dan pemanggangannya. Tapi tentang ular besar ini dia memang sudah mengetahui sebelum pergi ke Tabalong. Nah ketika mereka udah sampai di desa, kami sudah siap siap mau makan malam. Tapi akrena dia bilang lapar, maka kami menunggu dia selesai mandi, dan makan bersama.

Ketika kami sedang mulai menyendok nasi masing-masing, maka anak bungsu Pak Pembakal menambahkan suguhan daging ular panggang tadi siang didalam sebuah panci. Dia bilang, ini daging ularnya bang, untuk obat gatal-gatal. Kamipun mengiyakan, karena sebenarnya tadi siang juga kamu sudah menyaksikan orang-orang mengambil bagian daging ular panggangnya di tepian sungai. Dan kami semua memang tidak berani dan tidak ingin memakannya. Lalu seorang teman bertanya kepada Firman, Apakah kamu mau daging ular Fir? Lalu rekan kami menjawab: Jangankan ular, kereta api pun kumakan kalau kecil. Kami semua tersenyum, dan Firman menyendok daging ular itu kedalam piringnya.

Ular Kalimantan                                              Foto : Wikipedia

Ular Kalimantan Foto : Wikipedia

Selesai makan, kami masih duduk di tikar sambil merokok. Ibu Pembakal datang mengumpulkan piring kotor, tapi dia melihat daging ular panggang itu masih utuh, berkurang dua tiga sendok saja. Maka dia bertanya: Kenapa daging ularnya nggak dihabiskan? Kalian makanlah ini bagus untuk obat gatal-gatal. Kami menjawab, kami nggak bu, cuma Firman aja yang doyan.

Mendengar jawaban kami, Firman bertanya kepadaku: Son, yang jujur kau, apa betul daging di panci tadi daging ular? Tanyanya dengan agak gugup. Aku dengan santai menjawab: Bener, ular yang kita perogoki kemaren, tadi ditangkap dan dagingnya dipanggang. Kalau kau mau lihat kulitnya, itu dibelakang sedang dijemur. Tiba tiba Firman berdiri dan lari menuju pintu, tapi belum sempat dibuka pintu, dari perutnya sudah menembak muntahan membulat di daun pintu, Firman terduduk lemas. Kami tertawa terbahak bahak, melihat Firman merengut. Dia menuduh kami pengkhianant. Tapi aku beralasan, kami membiarkan dia makan daging ular itu karena dia katakan kereta api saja dia makan kalau kecil. Firmaaaannn oh Firman. Entah dimana sohibku itu sekarang, dan mudah-mudahan dibacanya postinganku ini.

Oleh: Sony | Maret 6, 2009

HATI YANG TERKILIR

MINYAK URUT YANG   BERJASA

                        

RS Panti Rapih   Foto: Gudeg Net.

RS Panti Rapih Foto: Gudeg Net.

Kuhempaskan badanku di kasur dipan yang sudah gepeng dan mengeras. Keletihan seharian berkeliling mencari lokasi penutupan pertemuan sekaligus Ibadat Paskah, semula direncanakan di Aula IKIP Sanata Dharma atau Gelanggang Mahasiswa UGM, tapi nampaknya temen-temen lebih suka dilaksanakan di Kaliurang saja. Dan akhirnya aku terpaksa ikut juga kesana untuk mencari gedungnya. Dan syukur kepada Tuhan, kebutuhan terepenuhi atas rekomendasi sesepuh kami yang tersayang Prof. Sartono Kartodirdjo.

                               Pagi itu aku langsung turun ke Yogya dan istirahat setelah semalaman kluyuran. Maklum, gawean kali ini cukup besar, Perayaan Paskah Mahasiswa Katholik se Pulau Jawa. Dan tahun ini tuan rumahnya adalah Yogyakarta. Asrama Putra Katholik Realino, dan Asrama Putri Syanti Kara menjadi penampungan utama para kontingen. Limpahannya tadi yang putri dititipkan di Asrama Putri UGM Ratna Ningsih. Asrama Stella Duce juga bisa dipakai Aulanya jadi bangsal bersama. Kasihan mereka tidur diatas tikar saja tanpa kasur.Tanpa sarapan pagi aku sudah terlelap terbawa mimpi.

                                       Separuh jalan mimpiku, kamarku digedor-gedor, suruh bangun. Mas Wiwin anaknya Ibu Kost membangunkanku dan mengatakan ada tamu untukku. Kulihat jam sudah pukul 10 WIB. Dengan bermalasan aku mengintip ke rumah sebelah, karena tamunya ada di sana. Rupanya Totok Karulus, teman sesama panitia lokal. Buru buru aku ke kamar mandi raup, dan sambil bersisir datang ke ruang tamu. “Ada apa Tok? Aku baru aja turun dari Kaliurang..” ujarku setengah protes karena merasa terganggu. “Anu Sis, ada kawan kita kontingen Surabaya yang jatuh di kamar mandi Asrama Ratna Ningsih, trus tangannya terkilir.” Ujarnya. Wadduh kalau di Ratnaningsih pasti cewek ini, fikirku. “Gimana kondisinya?” tanyaku. Sebenarnya ini bukan tanggungjawabku, tapi tanggung jawab bagian kesehatan. “Dibawa ke Panti Rapih, tapi lengannya bengkak dan kayaknya sakit sekali.” Jawab Totok. “Tapi apa hubungannya samaku, kok kamu kesini?” tanyaku lagi. Totok nyengir. “Gini nih logikanya. Kamu ingat waktu kita survey di Bojonegoro, kamu kan jatuh kesungai ditimpa perahu, tulang bahumu lepas. Nah yang ngobatin kan itu ada minyak dukun yang kiriman dari Medan. Mana tahu masih ada tersisa maksudku.” Ujarnya.

Minyak urut dari Tanah Karo                         Foto: Danny Computer

Minyak urut dari Tanah Karo Foto: Danny Computer

 Betul juga fikirku. Tapi minyak itu dulu tersisa satu botol kukasihkan sama sepupuku Yuniarwan untuk ngobatin kakinya yang lecet jatuh dari sepeda motor. Tapi siapa tahu masih ada yang tersisa. Tanpa pamit sama Totok aku kembali ke kamar, nyambar jaket dan keluar dengan motor honda bebek bututku. Setelah kuhidupkan baru kupanggil Totok. Dia kusuruh ke rumah sakit, nanti aku menyusul. Berpisah dengan Totok, aku terbang ke Gejayan Santren, ketempat kost Yun. Beruntung, minyak itu masih ada setengah botol lagi. Wah cukup buat tiga hari fikirku. Selanjutnya tancap ke RS Panti Rapih.

                                        Sampai disana, Totok sudah ada dan sedang ngobrol dengan kawan=-kawan panitia lain di ruang depan RS. Dapat info nama dan kamar yang sakit, aku langsung ke sana. Kutilang 4, dan ketika aku masuk ruangan itu, ada dua orang yang menunggui satu orang gadis dan satu orang lagi anak laki-laki ganteng. Habis menyalami yang dua orang itu, aku menyalam si pasien. Yang terkilir tangan kiri rupanya. Dan ketika aku menyalamnya, busyeeeeet orangnya cantik baaaaaanget. Tanpa sadar aku menoleh ke si pemuda, pacarnyakah ini? Tanya hatiku. Kalau si cewek yang satu lagi aku tahu panitia lokal dari tanda pengenal panitia yang menggantung dilehernya.

                             Lalu dengan caraku sendiri, kujelaskan bahwa aku membawa obat untuk menyembuhkan penyakit terkilirnya. Tapi dokter nggak boleh tahu, jadi kudu diam-diam. Padahal baunya agak menyengat juga sih, bau minyak ramu-ramuan dari daerah Karo, disebut minyak Tawar Penggel, untuk mengobati patah tulang. Kami sepakat diminyaki setelah visit dokter saja supaya nggak ketahuan. Konyolnya lagi, untuk mengoles minyak ini harus pakai bulu ayam yang halus, maka aku kembali ke rumah dan kukorbankanlah builu ekor ayam jantan Wiwin empat helai. Mudah-mudahan dia nggak tahu fikirku.

                            Sekitar jam 3 sore aku kembali ke RS Panti Rapih, dan tangan yang bengkak itu kuoles dengan minyak pakai bulu ayam. Sepuluh menit proses selesai, dan dia diberi minum air jeruk campur garam, biar nggak kesakitan. Beruntung, minyak itu sangat mujarab, keesokan paginya bengkaknya sudah kempes walau sakitnya masih mendenyut. Perasaan bangga mulai timbul dalam hatiku, serasa berhasil jadi dukun (palsu) yang mustajab dan sakti mandraguna.

                          Siangnya sehabis mengurus administrasi gedung di Kaliurang, seakan memiliki tangung jawab khusus, aku langsung ke Panti Rapih, dan mengobati tangan mulus yang sudah tidak bengkak lagi itu. Rasanya kok sudah dekat banget, ketika aku mengoles tangan gadis itu dengan bulu ayam, rupanya ada biji-bijian rumput liar dirambutku, mungkin karena seruduk sana sini di Kaliurang tadi pagi, dengan lebut diambil olehnya. Serrrrrrrrr agal merinding juga bulu roma sekujur leherku. Tapi kami hanya tersenyum. Nggak perduli apakah senyumku manis atau malah menakutkan, yang penting senyum.                                   

                                Keesokan paginya, ketika aku datang ke Panti Rapih, dia ditemani seorang pemuda lain, bukan yang hari pertama. Melihat dia duduk didipan bersebelahan dengan gadis itu, pastilah sudah sangat akrab fikirku. Ketika aku masuk, si gadis tersenyum riang. Wah ini rupanya pacar si gadis ini, fikirku. Ada gejolak cemburu di hatiku. Cemburu yang kedua kalinya. “ Mas, kenalkan Mas Sis ini yang ngasih obat terkilir ini makanya cepat sembuh.” katanya. Laki-laki itu berdiri dan menyalamiku dengan sangat samah dan hangat. Laki-laki ini baik, sangat pantas buat si gadis secantik ini gumamku dalam hati. Dengan rasa dipecundangi, kalah dalam segala segi, aku buru-buru mundur dari rumah sakit, dengan alasan persiapan perayaan paskah di Kaliurang.  

Sedih Melihat Dipan Kosong

Sedih Melihat Dipan Kosong

                           Siang berikutnya, ketika aku datang untuk jadwal pengobatan yang ketiga, sigadis sudah tidak disitu lagi. Dia bersama pemuda itu telah pulang ke Surabaya. Konfirmasi dengan ketua rombongannya, juga membenarkan bahwa sigadis telah pulang ke Surabaya siang itu dengan pesawat Garuda. Hampa terasa badan, melayang-layang bagai tak berbobot. Ada rasa sepi yang sangat sepi, kosong, sendiriaaaaaaannnn. Kutatap dipan yang kosong itu, yaaaa kosong. Tanpa sisa semangat sedikitpun, aku kembali ke tempat pertandingan Volly antara kontingen Malang melawan Solo di Lapangan Volly UGM. Tidak ada yang menarik, aku ke sekretariat Panitia di Jl Abubakar Ali 1. Kenapa aku nggak bersemangat, apa yang aneh denganku? Fikirku tak tentu.

Hargobinangun Kaliurang                          Foto Dinas Pariwisata DIY

Hargobinangun Kaliurang Foto Dinas Pariwisata

******* *******

                             Dua bulan kemudian. Sewaktu aku asik mencuci sepeda motor bututku didekat sumur belakang, Bu Wening, ibu Kostku memanggilku, katanya ada tamu, seorang tentara. Kuintip dari gang, nampak Toyota Hardtop Militer diparkir didepan rumah kostku. Kurapihkan diriku sebentar, setelah cuci tangan aku datang ke depan. Seorang laki-laki kira-kira berumur enampuluh tahun berdiri dan menyalamiku. Aku belum kenal dia.

“Aku ayah gadis yang kau tolong, yang terkilir tangannya waktu paskah yang lalu.” Ujarnya. Wah bapak ini pasti orang berpangkat, tapi dia nggak pakai pakaian militer, fikirku. “Wah berarti bapak dari Surabaya?” tanyaku. Agak jengah juga dianggap berjasa menolong anaknya. “Iya, kebetulan anak adik perempuanku akan menerima sakramen perkawinan nanti sore. Jadi aku mengundang dan mengajak kamu ikut ke gereja nanti. Bisa kan?” bujuknya. Aku ragu, karena aku nggak memiliki pakaian yang pantas untuk resepsi perkawinan, baju kaos, celana jeans. Gimana nih? Fikirku dalam hati. Ah percuma jadi orang Batak kalau masih juga ada gengsi gengsian fikirku. “Pak, aku bukan nggak kepingin ikut. Tapi aku nggak punya pakaian yang pantas, nanti memalukan pak.” Ujarku sambil tersenyum. Bapak itu menatapku tajam. “Ah gampang, nanti kita belikan baju batik.” Ujarnya. Wah…gimana nih? Fikirku galau. Tapi kepalaku ngangguk tanda menyerah.

                                Dan jadilah kami membeli batik, dan dengan sedikit canggung aku ikut perarakan dari rumah ke Gereja Jalan Kolombo. Ketika diperjalanan bapak itu berceritra bahwa beliau pernah bertugas di Pangkalan Angkatan Laut di Sibolga, dan sudah hapal dengan karakter orang Batak. Bahkan perbedaan budaya antara batak Toba, Karo, Mandailing, Pakpak, juga beliau mengetahuinya. Beliau juga tahu tentang ramuan-ramuan obat patah tulang yang ada didaerah kampung halamanku.

                            Dan dari ceritra sana sini akhirnya aku mengetahui bahwa beliau orang berpangkat dan sekarang menjadi komisaris pada sebuah BUMN dibidang perkapalan di Surabaya. Kedatangan beliau menjadikan aku dapat baju batik dua stel. Ketika beliau pulang beliau menyuruhku main-main ke Surabaya.

Batik Yogya                                         Foto: Wikipedia

Batik Yogya Foto: Wikipedia

****** ******

                                        Kesempatan ke Surabaya datang, ketika kakak dari seorang sahabat kuliahku melangsungkan perkawinannya di Surabaya, tepatnya di Jalan Jambu. Nah, kebetulan salah satu dari anggota kelompok kita adik ipar pengusaha travel di Yogya, jadi deh kita bisa bawa satu unit Mitsubishi Colt T-120, dengan catatan disopiri sendiri. Kita berangkat dari Yogya bersembilan orang, sepanjang jalan ber koes Plus ria.

                                           Singkat cerita, sesampai di Surabaya, aku minta diantar ke Jalan Gadung, alamat yang diberikan bapak itu kepadaku. Ketika sampai disana, bapak nggak ada dirumah, gadis yang terkilir itu juga nggak ada di rumah, yang ada hanya anaknya yang bungsu (seorang gadis SMA), dan pembantunya. Agak kecewa memang, tapi apa boleh buat, kami pulang dan akupun meninggalkan alamat tempat pesta perkawinan di Jalan Jambu itu.

                             Malam itu, ketika kami asik ngobrol sambil main gaple di rumah temanku itu, ada yang mempertanyakan, apakah ada yang namanya Sony, dan tentu saja aku menoleh dan mengiyakan. Aku keluar menemui orang yang mencariku itu. Dannnnn ternyata adalah sigadis yang pernah kuobati bengkak siku tangannya. Bergetar seluruh nadiku menatap wajahnya, dan bagai kerbau dicocok hidung aku menurut saja diseretnya. Ya ampuuuunnnn gadis inipun tanpa malu menarik-narik tanganku. Aku dinaikkan kedalam mobil sedan Corolla hitam, dan yang membuatku jadi galau, laki-laki yang menyupir adalah laki-laki yang menjemputnya di Yogya tempo hari.

                                      Herannya, aku disuruh di depan bersama cowok itu, dan si gadis duduk dibelakang. Hatiku udah tak nyaman, yakinlah sudah bahwa laki-laki ini bukan hanya sekedar pacar, tapi tunangan barangkali. Tapi di jari si cewek hari itu nggak ada cincin. Lagi kayaknya laki-laki ini orang kaya, punya mobil sedan terbaru. Wah ngapain lagi aku dijemput segala, dengan alasan bapak mau ketemu.

                                    Dirumah itu aku disambut dengan sangat ramah. Bapak mengajakku main catur ditonton dan disupport oleh semua anggota keluarga. Separoh memihakku separoh memihak bapak. Tidak kusadari, aku sudah larut didalam keakraban seisi rumah itu. Bahkan putri tertua bapak itu juga singgah dengan suami dan anaknya, dan mereka juga sangat ramah.

Percaturan Hidup dan Cinta                     Foto: Wikipedia

Percaturan Hidup dan Cinta Foto: Wikipedia

                                   Entah bagaimana ceritanya, akhirnya aku tertinggal berdua dengan gadis itu. Ya dia dua kali berkirim surat, tapi aku nggak balas. Aku tidak membalas karena takut terluka. Dan apa yang kuduga semula, memang dipertanyakan tentang suratnya. Jawabku, adalah terlalu sibuk sehingga kelupaan membalas. Dadaku bergemuruh bimbang. Tapi akhirnya kuberanikan diri untuk mempertanyakan pemuda yang menjemputku tadi.

                              Dia tertawa kecil dan senyum yang manis sekali. Laki-laki itu adalah saudara kandungnya, yang sebenarnya sudah kuduga setelah sampai dirumahnya tadi sore. “Berarti kamu nggak baca suratku itu. Disitu kuceritakan kok tentang keluargaku.” Ujarnya. Ya aku mengakui dalam hati, aku memang sudah menutup diri rapat-rapat, sehingga suratpun tidak ingin aku membacanya.

    

Rantang Cinta                                Foto: Kranjang Hantaran.com

Rantang Cinta Foto: Kranjang Hantaran.com

                               Keesokan harinya, ketika Colt T-120 kami akan pulang ke Yogya, kami singgah sebentar di Jalan Gadung, dan oleh si Gadis (tepatnya oleh Ibunya), dititipi bekal rantang dengan penuh makanan dan termos berisi kopi panas, buat bekal diperjalanan. Dengan sepotong kertas terselip disana: Mas Sis, secepatnya antar Rantang dan Thermos ini ke Surabaya.

                                                   Ketika membaca pesan tersebut, (setelah melewati Kertosono) kami bersorak ramai-ramai. Kata temanku: Sis, mungkinkah akan ada lagi rombongan Jagong Manten ke Surabaya dalam jangka waktu dekat? Aku hanya tersenyum kecut. Lulus aja belum, kok mikir manten…..belum….belum dulu deeeehhhh***************

Asrama Putri Ratnaningsih                                         Foto: Friendster

Asrama Putri Ratnaningsih Foto: Friendster

Oleh: Sony | Februari 6, 2009

HOME ALONE DI DESA

Home Alone

 

                           Semenjak aku ikut dengan ibu di desa, kami pindah dari rumah peninggalan nenek ke rumah kebun yang terletak diluar kampung.  Dulu ibu nggak mau tinggal disitu karena sunyi.  Tapi dengan adanya aku, maka ibu bilang sebaiknya kita tinggal di rumah kebun.  Enak, karena halamannya luas, dan dibagian belakangnya   ditanami buah dan sayuran.

 

                           Di rumah kebun, kami juga memelihara ayam.  Ada dua ekor ayam jantan dewasa, dan sepuluh ekor ayam betina.  Beberapa induk ayam itu sedang  mempunyai anak.  Anak  ayam itu selalu mengikuti perintah induknya berkeliaran disekitar induk.  Kadang-kadang induk ayam berkelahi dengan kucing atau ayam lain kalau ada yang mengganggu anaknya.  Kadang kadang dia mengikuti ibu yang sedang menyiangi tanamannya.  Dan biasanya ibu mengusirnya, karena kalau ayam ini mangkais kais di bagian tanaman sayuran pasti  jadi berantakan semuanya.  Maka bagian kebun sayuran selalu disekat dengan pagar bambu.

 

                              Cerita ini bermula ketika ibu mulai turun ke sawah, dan aku tidak diijinkan ikut ke sawah karena  musim hujan.  Hampir tiap sore turun hujan di desa kami, sehingga ibu berfikir hujan itu akan dapat merusak kesehatanku.  Jadilah aku setiap pulang sekolah tinggal di rumah.  Tugasku dirumah adalah memipil jagung dengan cara dipukul pukul pakai kayu, pada sebuah tempat perontok jagung yang terbuat dari bambu, sehingga semua bulir jagung terlepas dari tongkolnya.

 

                                 Kalau ada yang tersisa masih lengket di tongkol maka dirontokkan dengan jari saja.  Biasanya ketika aku bekerja merontokkan jagung, ayam ayam itu akan mendekat, dan setiap butir jagung yang mencelat keluar dari ruang perontok dan jatuh ke tanah, maka ayam ayam itu akan berebut menyambarnya.  Yang lucu adalah induk ayam yang punya anak masih sangat kecil, eh diajaknya juga anaknya itu memakan jagung, mana mungkin paruh sekecil itu bisa menelan jagung.  Ada juga goblog-goblognya ayam itu.

                               

Jagung tua siap dipipil               Foto Wikipedia

Jagung tua siap dipipil Foto Wikipedia

    

                        Yang kadang mengagetkan kalau anaknya terlalu dekat ke tempat pemukulan, lalu tertimpa tongkol jagung berciap-ciap kesakitan, lucunya induknya bisa juga marah sama kita.  Maka kadang-kadang aku berkelahi juga sama ayam.  Kugodain dengan mengepung anaknya dalam keranjang jagung.  Induknya akan teriak-teriak mengelilingi  lumbung jagung, dan saking gusarnya terbang ke atap.  Nah kalau sudah begitu, baru dikeluarkan semua anaknya, maka dengan panik dia akan memanggil anaknya semu dan membawanya kebawah pohon kopi, dan melindunginya dengan sayapnya dan istirahat disana.

 

                                       Lelah  merontok jagung, aku menggelar tikar untuk menjemur jagung yang sudah dirontok.  Mengapa harus dikeringkan, karena harga jagung kering jauh lebih mahal dari jagung basah.  Dan menjualnya juga lebih mudah.   Nah pada saat aku menggelar tikar ini, aku mengakkan serumpun pohon serai, dannnnnnnnnnnnnnnnn ternyata dibawah pohon serai itu terdapat enam butir telur ayam.

 

                                       Aku melihat berkeliling, apakah ada yang lain juga bertelur di semak-semak? Periksa rumpun serai yang lain, tidak ada.  Hanya rumpun yang satu itu  dihuni oleh telur.  Lalu hatiku bertanya, ayam betina yang mana ini yang nakal, bertelur kok di rumput. Kalau nanti ada musang atau burung hantu tahu, pastilah dimakannya telur telur ini fikirku.  Lalu kuambillah keenam telur itu kuletakkan diatas onggokan jagung yang sudah dipipil.

Aku berfikir kemana diletakkan telur ini, kalau diletakkan di sangkaka yang lain, nanti induk yang bertelur disitu pasti kenal dan pasti memecahkannya.

 

                     Akhirnya, kurebuslah telur itu semuanya, dan setelah matang kumakan satu butir.  Sisanya kukembalikan kebawah pohon serai itu, supaya tidak menjadi persoalan dengan ibu.  Lalu aku menjemur jagung sampai sore.  Selesai mengangkat jagung dan memasukkannya kedalam goni, disimpan di gudang depan.  Pergi mandi ke sungai dengan teman.  Sepulang mandi, rupanya ibu belum pulang dari sawah.  Maka teringat dengan telur rebus, diambil satu lagi dan dimakan dengan nikmat.  Lalu mengandangkan seluruh ayam.  Selesai mengandangkan ayam, periksa seluruh  pintu pagar di bagian belakang kebun, kemudian tutup jendela-jendela rumah.  Nyalakan lampu petromak. Sambil masak nasi sore. Teringat telur rebus tadi, sambil menunggu nasi tanak, dimakan satu lagi, dan ternyata nggak cukup, maka ambil satu lagi.  Jadilah empat butir sudah dimakan.

                      Ketika ibu sampai di rumah, diletakkannya bakulnya dan kulihat isinya adalah  umbi talas ungu.  Talas kesukaanku.  Ada juga buah embacang.  Memang disawah kami ada pelataran dengan pondok yang cukup besar, oleh mendiang kakek ditanami nenas, pohon nangka, pohon embacang dan jambu kelutuk. Ibu mengambil alih posisiku sebagai supir dapur, dan aku duduk didekatnya.  Ibu biasanya duduk diatas dingklik, sedangkan aku bersila diatas tikar.  Ibu menyelesaikan masak sayur dan mengarsik ikan hasil dia menangguk tadi siang di sawah.  Aku mengambil buku pelajaran dan belajar didekat tungku.  Selain terang, hangat didekat api.  Maklum desa kami berada pada ketinggian 1400 m dari permukaan laut, dingin.

 

                      Ibu mempertanyakan seluruh kegiatanku hari ini. Aku jelaskan semua, tentang jagung .  Tentang telur ayam yang setengah lusin belum kujelaskan.  Tapi tiba-tiba perutku mual dan rasanya ada yang memulas didalam ususku. Melihat aku meringis, ibu jadi gugup dan mencoba memeriksa wajahku dan menanyakan kenapa dengan perutku?  Aku jawab bahwa perusku rasa melilit lilit, rasa mual mau muntah, dan…. Hhhuuuuaaaaaakkkkkk muntahlah aku kedalam baskom tempat rendaman sayuran ibu.   Mmmmhhhh bau telur menyengat diseluruh ruangan dapur.  Dengan memuntahkan isinya itu perutku serasa lega.  Ibu membuatkanku the manis.  Lalu dia bertanya, dari mana aku ambil telur, dari sangkak ?  Bukankah yang disangkak itu sudah mengerami?

Sekejab aku ragu menjawabnya, tapi ini harus dijawab sebelum ibu marah.

 

                        Maka kuceritakan tentang telur dibawah pohon serai itu dan telah merebus semuanya, bahkan empat butir sudah kumakan.  Ibu menggeleng-gelengkan kepala sambil mengkusust-kudutkan rambutku.  Dia bilang, semua seisi rumah ini milikku, tapi didalam pemanfaatannya harus ada peraturannya.  Memakan telur sebanyak empat butir dalam tiga jam adalah diluar kelaziman, maka layaklah mendapat ganjaran sakit perut. Akupun lega setelah mengetahui ibu tidak marah dengan setengah lusin telur yang kurebus itu.  Bahkan ibu bangga, karena aku dapat memutuskan apa yang harus kukerjakan di rumah tanpa beliau.  Dan ketika ayah datang dari kota pada malam minggu, ibu menceritakan semuanya kepada ayah.  Ayah hanya mengangguk menunjukkan pengertiannya.  Ternyata ibu sangat menyayangiku.

Telur Ayam                    Foto Wikipedia

Telur Ayam Foto Wikipedia

Ayam Jantan Bantam           Foto Wikimedia

Ayam Jantan Bantam Foto Wikimedia

Wikipedia

Sepasang Yang Mesra Foto: Wikipedia

Oleh: Sony | Januari 30, 2009

Di Kapal Tampomas I

RANTANGMU MANA ??????

 

Setelah  satu tahun kuliah di Yogya, aku diijinkan ayah pulang ke kampung.  Dan dengan terlebih dulu menyelesaikan KRS, kutinggalkan Yoya dengan menumpang Kereta Api Senja  Ekonomi.  Subuh tiba di Stasiun Senen, langsung menuju rumah saudara di bilangan Tanah Abang.  Besoknya beli tiket di kounter Pelni yang terletak di gedung Djakarta Teater untuk KM Tampomas I.  Rupanya penumpang  pada hari Senin untuk Tanjung Priuk Belawan penuh.  Dan memang sejak semula juga direncanakan membeli tiket yang termurah yakni tiket non kelas atau tiket dek.

                  Kakak iparku memang orangnya sangat telaten dan baik hati.  Persiapan pulang dengan kapal kelas dek harus membawa tikar,  sebagai alas tidur, membawa rantang tempat jatah nasi (ransum) dan membawa tempat minum.  Masa itu belum ada  air mineral  dalam kemasan.   Dan itu ditambah lagi bekal  sambal kering (tempe diiris digoreng kering diberi sambal) sebagai  menu tambahan di kapal.  Nah jadilah barangku bertambah dua kali lipat, karena tadinya aku hanya bawa ransel lapang  ala militer.

                             Pagi-pagi, diantar oleh seorang saudara, aku menuju kapal Tampomas yang baru tadi subuh mendarat sehabis pelayaran dari Belawan.  Rupanya aku termasuk agak cepat naik, dan dek masih berisi satu dua orang.  Ada juga yang menawarkan penyewaan tikar, tapi aku tunjukkan tikarku dan menggeser tikar yang sudah dibentangkannya disana.  Rupanya orang ini keberatan sehingga aku harus mencari tempat  lain, tapi kemana ?  Semua sudah dipasang kawan ini tikarnya disitu.  Tiba-tiba ada seorang wanita yang sudah tua, didampingi seorang laki-laki berpakaian seragam petugas pelabuhan.  Mereka berbicara dalam bahasa Toba, tapi aku mengerti makna pembicaraannya.  Rupanya baru tadi mereka berjumpa, kebetulan laki-laki itu bertugas di pelabuhan Tanjung Priuk.  Nampaknya nenek ini akan pulang sendirian ke Belawan, maka akupun bertanya apakah nenek itu ikut rombongan, dan rupanya nenek itu sendirian, maka akupun boleh menggelar tikar didekat beliau.  Kamipun berkenalan (martutur), setelah dia tahu bahwa kami masih satu marga keturunan Silahi Sabungan, maka akupun memanggilnya Ompung.  Dan kontanlah hari itu juga aku jadi cucunya.

                           Rupanya beliau ini mempunyai anak tiga orang di Jakarta, dan tiga orang di Medan.  Satu di Balikpapan, satu lagi perempuan ikut suaminya yang diplomat ke Yugoslavia.  Beliau begitu hapal dengan suasana di kapal.  Aku sempat bertanya, kenapa ompung di dek, kan amang boru (panggilanku untuk anak-anaknya)  bisa membelikan tiket kelas.  Tapi dia katakan di kelas itu sunyi, terkurung seperti di penjara.  Bisa masuk akal juga sih.

“ Nanti kau pesan nasi kita sama pegawai kapal ini di bagian kelas, supaya nasi kita nasi kelas, bukan nasi dek.  Ini rantangnya, nanti kau tanya harganya, untuk kita berdua.  Mari sini rantang sama piringmu itu biar kusimpan  di koporku, supaya tidak hilang.  Maka disimpanlah perlengkapan yang telah dikasi kakak iparku dari jakarta ke koper ompung boru itu.  Dan akupun memesan nasi kepada bagian ransum kelas, dan sesuai perjanjian akan dibayar sebelum makan terakhir  menjelang Belawan.  Dan memang, nasi yang kami dapatkan kualitasnya lebih baik daripada nasi teman-teman sesama penumpang di dek.

                          Satu keberuntungan bagiku selama di kapal, karena ompung memang tidak mau pergi kemana-mana kecuali  ke kamar mandi.  Dan itupun udah kami sewa satu buah ember plastik, supaya  kalaupun sedang sabunan mai air, kita masih bisa membilas badan dengan persediaan seember.  Ompung  memang sangat teliti.   Dan satu lagi istimewanya, rupanya sepanjang perjalanan di Selat Malaka, ompung tidak pernah kesepian, ada saja kenalan ompung yang bertemu di kapal, yang tua, yang muda dan sepanjang malam banyak orang yang duduk duduk didekat ompung bercerita kesana kemari.  Dan akupun dengan bebasnya berkeliaran diatas kapal bertemu teman-teman lama yang sekarang sudah menjadi  mahasiswa di kota lain seperti Bandung, Surabaya, Jember, Bogor yang dulu memang sama-sama sekolah di Medan. 

                         Setiap kali mau tidur, ompung selalu bertanya apakah aku  mabok atau nggak enak badan?  Maksudnya kalau nggak nak badan biar dikasih minyak gosok.  Tapi memang secara kebetulan dalam perjalanan dua malam tiga hari itu, aku merasa segar segar  saja.

                         Tiba di Belawan, setelah membayar uang ransum dan ember (tentu saja uangnya dari ompung), aku disuruh ompung mencari tukang pikul barang.  Barang nenek memang banyak, ada enam potong.  Tikarku juga sudah diikat ompung menyatu dengan barang-barangnya.  Maka aku disuruh ompung menjaga diatas, dan dia bersama seorang tukang pikul turun.   Tidak lama kemudian tukang pikul tadi datang dengan dua tukang pikul lainnya dan seorang laki-laki.  Karena sudah kenal dengan pemikul pertama, kamipun turun. 

                         Dibawah aku diperkenalkan oleh ompung dengan anaknya dan dua orang cucunya. Yang kemudian aku tahu satu kuliah di USU dan satu lagi masih SMA di SMA Negeri IV di Medan.

Ompung menyuruhku ikut dia dulu ke rumah amang-boru (anaknya) itu.  Maka ketika yang mahasiswa itu menggamit tanganku, kami berdua pergi ke tempat parkir.  Rupanya mereka ini orang kaya.  Mobil yang menjemput ompung, adalah sedan Mercedes Benz. Maka akupun ikutlah diatas mobil sedan itu, semua barang-barang berada di garasi.  Yang menyetir si mahasiswa, dan amang boru disebelahnya.  Aku dan ompung dengan adik yang masih SMA (namanya Doni Sahala Pangaribuan), dibelakang.  Saking enaknya diatas mobil ber AC itu, aku tertidur, dan baru terbangun ketika sudah sampai dirumah anak ompung ini dibilangan Glugur Medan. 

                            Di rumah anak ompung ini, aku dipersilahkan istirahat. Kata ompung biar nanti si Rihot (itu yang mahasiswa namanya Marihot Tua Pangaribuan) yang mengantar kau ke Padang Bulan.  Ya syukur deh fikirku, maka akupun duduk manis sambil minum the hangat dan kue kering.  Tidak lama kemudian, suara vespa mederu dihalaman, dan aku dipersilahkan ikut Rihot.  Naik diboncengan, tancap menuju Padang Bulan,  rumah kakakku yang sulung. Tapi nasib kurang beruntung, kudapati pagar terkunci.  Tapi aku meyakinkan Rihot bahwa kakak  pasti segera pulang.  Maka akupun ditinggal Rihot sendirian.

                           

 Speninggal Rihot, kucari tahu kemana kakak kepada pemilik warung didekat rumahnya.  Rupanya aku dijemput ke Belawan, dengan suami dan kedua anaknya.  Wadduh… selisih jalan nih, pikirku. Maka aku pergi ke kebun kelapa/rambutan yang ada dibelakang rumah kakakku, kebun itu adalah milik boss ayahku (orang yang cukup kaya menurut pandanganku),  dan menjumpai penjaganya yang memang tinggal disana.  Kami sudah kenal baik dari dulu (sama-sama satu majikan),  dan Pak Panut sipenjaga kebun itupun menyambutku dengan senang hati.  Kebetulan musim rambutan, wah bisa santai juga sekarang fikirku.  Kenyang makan rambutan aku numpang tiduran dirumah Pak Panut.  Baru tidur-tidur ayam (belum terlelap), suara kakak kudengar memanggil pak Panut.  Dan akupun keluar dari gubug pak Panut membawa ranselku, masuk ke rumah kakak.

Kuletakkan ranselku dan mengeluarkan oleh-oleh Dodol Garut yang sudah dibelikan abang di Jakarta.  Tapi kakak bertanya: Rantangmu mana? Tikarmu mana? Gelasmu mana? Piringmu mana?   Kamu memang betul-betul nggak tahu diri.  Malu bawa rantang kamu buang ke laut atau kamu kasihkan kepada orang lain?  Itu semua dibeli pakai uang dek. Lagian kamu ini keluar lewat pintu mana, satu satu penumpang kami sensus sampai habis, kamu nggak ada juga.  Di radio diumumkan tujuh kali. Kupikir kamu nggak jadi pulang. Kakak kecewa dengan kelakuanmu ini.  Kalau nanti mamak tahu, dia pasti sedih.  Beruntun omelan-omelan itu seperti peluru mitraliur keluar darimulut kakak.  Aku terduduk lemas.  Aku ingat, semua barang-barangku dengan rapih tersusun dalam koper ompung.  Kupikir semula pertemuanku dengan ompung adalah anugerah…eh buntutnya jadi musibah.  Untuk memberikan jawaban saat itu, nampaknya sudah tidak  tepat waktu.  Maka akupun pergi tidur. 

Sore harinya, aku diajak Pak Panut memetik kelapa dan rambutan untuk oleh-oleh ke rumah orang tuaku di kampung besok.  Menurut cerita Pak Panut, kakak juga akan ikur ke Berastagi.  Kami turunkan kelapa sepuluh butir, dan rambutan satu keranjang.  Saat kami sibuk mengupas sabut kelapa dan mengikat  rambutan, Rihot datang membawa barang-barangku yang teringgal itu.  Bagaikan gelap malam bertukar siang, hatiku terang benderang.  Dengan bermohon-mohon aku meminta Rihot sabar sebentar, biar kupanjatkan rambutan buat si ompung dan seisi rumah di Glugur.  Sepulang Rihot, akupun melaporkan kepada kakak sebagai berikut:

1.     Penyiapan oleh-oleh ke Berastagi sudah siap.

2.     Rantang, tikar, piring dan cangkir siap untuk diserahkan.

3.     Laporan selesai.

Tapi kakak masih merengut juga, tapi abang iparku tersenyum sambil mengedipkan matanya kepadaku.

Kapal Layar Motor Dewaruci

Kapal Layar Motor Dewaruci

Rambutan

Rambutan

Vespa

Vespa

Oleh: Sony | Januari 20, 2009

Pawang Ternalem (Bagian ke Delapan)

MALAM PENGANTIN

 

 

                             Maka berangkatlah  Pawang Ternalem dengan dua orang pengantar bersama beberapa orang anak beru  ke rumah Pengulu Jenggi Kumawar untuk menjemputnya.  Peristiwa ini didalam urut-urutan  adat disebut baba nangkih.  Maka dengan berpura-pura tidak tahu Pengulu Jenggi Kumawar dengan istrinya pergi ke rumah saudaranya di kempung seberang sungai, dan ditinggalkannya di rumah panggung saudara perempuannya, untuk mempersiapkan barang-barang yang harus dibawa Bru Patimar bersama  dengan Pawang Ternalem.   Rombongan itu hanya sebelas orang,  dan subuh mereka berangkat dari Jenggi Kumawar, dan ketika maghrib baru tiba di desa Lau Simbelin, kampung kakek Pawang.  Disana sudah menunggu sanak saudara  Pawang Ternalem, termasuk ibunda si Ndaram saudara ibunda Pawang Ternalem.  Upacara penyambutan dilaksanakan secara sederhana, yang diakhiri dengan makan malam, (tata upacara ini akan dibuat posting tersendiri).

 

         Pada saat makan malam ini, Pawang dengan Bru Patimar di suruh duduk berdua didalam kamar, dan disuguhi masakan  ayam yang telah diolah sedemikian rupa, lengkap dengan nasinya, dalam satu piring.  Pertama, keduanya disuruh saling menyuap dengan sejemput nasi, secara bersamaan.  Kemudian diawasi oleh bibi Pawang, mereka disuruh makan sekenyang-kenyangnya.  Beberapa nasihat yang diucapkan bibi itu antara lain, jangan gigit tulang ayamnya, jangan makan sayapnya, supaya kamu jangan suka kluyuran, jangan makan cekernya, supaya rejekimu jangan seperti rejeki ayam, mengais dulu baru makan.  Yang paling dianjurkan kepada Bru Patimar adalah makan telur rebusnya yang memang diletakkan ditengah-tengah maskan itu.  Supaya menjadi ibu yang baik, seperti induk seekor ayam, biar anaknya berbulu putih, berbulu hitam, lurik lurik atau bintik bintik, semua dinaunginya dibawah sayapnya.  Pawang disuruh makan paha ayam, biar kuat bekerja, kuat menopang  harga diri dan martabat keluarga.  Kalau hatinya, juga jangan, supaya tidak perate-ate (manja dan mau menang sendiri), tapi hati ayamnya berikan saja kepada bibik-bibik itu.  Mereka senang karena daging hati ayam lunak, dan memang itu yang enak bagi orang yang sudah ompong he..he..he..

 

                    Selesai makan, mereka disuruh istirahat didalam kamar, dan bibi-bibi itu bergegas mengeluarkan piring, mangkok tempat cuci piring dan gelas minuman.  Tapi kemudian disorongkan kedalam minuman berupa tuak dalam bumbung bambu.  Trus kamar itu dikunci dari luar.  Mereka berdua berpandang-pandangan.  Ada celah dinding papan itu untuk mengintip, dan nampak keluarga Pawang Ternalem sedang bercakap-cakap kesana kemari tidak tentu topik.  Adang-kadang saling berdebat, bercanda ejek mengejek, dan tertawa bersama-sama.  Pawang masih mengenang pesan gurunya, jangan terlalu hanyut dengan perasaan.  Kamu harus mampu menahan diri.  Sementara saudara sepupunya, sehari sebelum mereka berangkat ke Jenggi Kumawar, ketika mandi di pancuran mengatakn, begitu sampai nanti di rumah, kamu harus mengambil kegadisannya, supaya tidak ada lagi ikat-ikat bathin dengan laki-laki manapun, entah itu yang mencintai apalagi yang dicintai Bru Patimar selain kamu.  Diliriknya Bru Patimar yang sedang bersujud dihadapannya, merenung manatap jalinan tikar pandan.  Lalu diangkatnya wajahnya menatap Pawang dan tersenyum.

 

“Nggak diminum air niranya bang?” tanya Bru Patimar.

“Sebentar lagi, perutku masih kenyang.” Jawab Pawang sambil tersenyum.  Ditopangkannya tangannya ke dagu, dan ditatapnya mata Bru Patimar dalam-dalam. Pawang masih tersenyum, dan diusapnya keringat di dahi pengantinnya.

 

  Gadis itu tertunduk, kemudian menatap Pawang lagi. Kemudian dia mengangguk.  Nampaknya anggukan itu tidak untuk Pawang Ternalem tapi untuk dirinya sendiri.  Dia percaya, bahwa kembang yang selama ini dijaganya dengan sebaik-baik kemampuannya, yang sudah dalam dua tahun ini diyakininya untuk dipersembahkan kepada kekasihnya Pawang Ternalem.  Ya, memang sekaranglah waktunya.   

                        Maka ditengah senda gurau sanak keluarga diluar, mereka memadukan kemurnian jiwa, bagai lagu seruling yang mengalun lembut dari lembah.  Pawang menapak dari  kaki bukit, mendaki lereng sampai kelembah yang lembab dan berembun, dan dalam pendakian yang samakin menguras tenaganya langkah-demi langkah terayun sambil merayap di sela bukit kemuning  yang berubah rona merah memayang  dengan geraian rambut diubun-ubun berayun ayun bagai selendang berkibar disaput fajar.  Rona pelangi memancar dari bola matanya, beralun tarian naga  bersahut-sahutan bagai alu bertalu-talu menumbuk lesung, dan pias-pias padi terpancar dari bibir lesung tersentuh.  Riak-riak yang semula memercik riang, berubah jadi ombak mengelombang timpa menimpa dalam badai yang semakin dahsyat.  Jiwa mereka luluh lebur jadi satu dalam keheningan dan kesenyapan.  

                          “Engkau belum membayar utang adat kepada ayah bundaku dan sanak kadang orang beradat, ingat itu dan serahkan bukti persembahanku itu kepada keluargamu, supaya tahulah mereka melunaskan hutangnya.” Kata Bru Patimar kepada Pawang.  Pawang mengangguk dan mencium kening istrinya.  Lalu diketuknya pintu kamar yang terkunci dari luar itu,  sedikit terbuka, disorongkannya genggaman kain tenun putih itu, disambut sang bibi dari luar, dan pintu kamar terkunci kembali.  Besok pagi kain itu dengan uang emas atau perak akan diantar ke rumah Pengulu Jenggi Kumawar, bahwa pernikahan telah dilaksanakan dengan selamat, dan utang adat akan dibayar setelah selesai musim panen.

 

                         Istrinya menatap wajah yang terpejam itu.  Dalam hati dia berkata, apapun kelak yang terjadi, aku akan mengikutimu, kemanapun, dalam keadaan apapun, sampai maut memisahkan kita.  Sementara Pawang berbisik dalam hatinya, Bunda, aku sama sekali tidak mengenal engkau, karena pertemuan kita hanya selama empat hari, maka kini aku telah menemukan gantimu, restuilah kami dari tempat peristirahatanmu, biarlah keluarga kami  kelak menjadi keluarga sebagaimana pernah ada dalam cita-citamu.  Dan ketika dia membuka matanya, dilihatnya wajah Bru Patimar bersinar bagai rembulan.   

                  Keesokan harinya, ketika cahaya matahari menembus lubang dancelah dinding kamar, Pawang Ternalem terjaga dan terbangun.  Tapi Bru Patimar sudah tidak ada disisinya.  Dan ketika dia keluar dari kamar, dilihatnya istrinya sudah pulang dari pancuran, dan tengah menyisir rambutnya yang panjang.  Pawang tersenyum dan bergumam dalam hati, dia telah ada disebelah diriku.  Lalu diapun bergegas ke pancuran mandi dan mengikrarkan janji hati, untuk berjuang bagi sebuah keluarga bahagia.

Oleh: Sony | Januari 12, 2009

MANA CELANAKU ?????

PERMAINAN ANAK KAMPUNG

 

Pada masa penggal pertama  tahun tujuhpuluhan,  kegiatan Pramuka di tanah air kita  sangat digalakkan.  Repelita I, dimulai tahun 1969 sampai tahun 1974, merupakan titik awal gairah pendidikan yang begitu menggelora, setelah terpuruk pada era Ganyang Malaysia, dan peristiwa kelam G 30 S PKI.  Tapi posting ini bukan mengarah ke politik berdarah itu.  Yang ingin aku ceritakan adalah pengalaman kami ketika pengalaman bersekolah dengan berseragam.

               Beberapa tahun setelah  Pemilihan Umum tahun 1971, yang kemudian dimenangkan oleh Golongan Karya, Gerakan  Pramuka adalah sebuah program  yang sangat  dipavoritkan oleh pemerintah Orde Baru sampai ke desa-desa, termasuk desa kami.  Dan  keberuntungan itu juga ke desa kami, yang  pertama jatuh kepada anak-anak Sekolah Dasar kelas satu dan dua.  Keberuntungannya adalah mendapat pembagian seragam pramuka gratis.  Seragam dengan kemeja kuning kemerahan dan celana coklat dengan lambang tunas kelapa di lengannya dan merek SIAGA di saku kiri atas dan merek Gerakan Pramuka di saku kanan, lengkap dengan baret seperti milik RPKAD, dan tali pinggang dengan kepala sabuk berlambang tunas kelapa terbuat dari kuningan.  Wahhhh bangganya bukan main.  Dada kami menggelembung hampir meletus saking bangganya. Bapak kepala sekolah dan lima orang guru lain juga berseragam pramuka pada hari pembagian seragam tersebut.

               Keesokan harinya, kamipun memakai seragam pramuka kami ke sekolah.  Begitu sayangnya kami dengan seragam itu, sehingga permainan  bergulat di rumput, tendang-tendangan dan permainan perang-perangan di halaman rumput sekolah tidak kami lakukan.  Kami hanya saling mendiskusikan baju kami masing-masing, entah jahitannya yang lepas, atau benangnya yang tidak sama warnanya, atau kalau ada jahitan yang tidak lurus.  Maklumlah, jahitan borongan,  pengerjaannya juga pastilah tidak seteliti jahitan biasa.  Tidak terasa, satu hari hampir berlalu, dan kami kelas satu dan dua sudah diperbolehkan pulang. Nah… disinilah awalnya cerita ini terjadi.

                Letak sekolah kami diantara tiga buah desa, dimana ketiga desa tersebut menjadi pemasok murid ke sekolah negeri satu-satunya di tiga desa. Mencapai sekolah  ini, dari ketiga desa tersebut harus melalui sungai.  Dan sudah menjadi peraturan di sekolah kami, ketika berangkat ke sekolah, diwajibkan mandi dulu di sungai, dan barang siapa tidak mandi dan ketahuan oleh guru, akan disuruh kembali ke sungai untuk mandi. Peraturan lainnya adalah, sehabis jam sekolah, tidak diperbolehkan mandi-mandi di sungai sebelum pulang kerumah.  Bahasa daerahnya dilarang ERLANGI_LANGI atau berenang di sungai.  Kalau ketahuan oleh guru, besoknya akan dihukum di sekolah.

               Sebaik kami pulang sekolah dengan seragam pramuka yang keren itu,  ketika sampai di sungai sebahagian mengajak kami mandi-mandi.  Yang perempuan mengingatkan agar tidak usah mandi-mandi, karena nanti dihukum oleh bapak guru.  Tapi sebagian mengatakan, guru masih akan lama datang, kan masih ada rapat mengenai pembagian seragam pramuka untuk kakak kelas.   Nah, yang lain juga sepaham, sehingga jadilah rencana mandi-mandi di sungai.  Murid perempuan langsung pulang ke rumah, dan mereka memang risih menonton anak laki-laki mandi dengan telanjang bulat.  Maka kamipun membuka baj dan celana diletakkan dirumput tepi sungai bersama tas kami masing-masing.  Begitu serunya permainan kami, sampai kami lupa bahwa sebentar lagi kakak kelas sudah keluar dari sekolah.

                  Tiba-tiba ada teriakan dari jembatan, heiiiiii, keluar semua, cepat pakai baju, pak Kepala Sekolah dataaaaaangg.  Dengan kalap kami semua naik ke darat dari dalam sungai, buru-buru mengambil baju dan celana dan cepat-cepat memekainya dan menyambar tas trussss berlari mendaki jalan setapak menuju kampung.  Melihat kekalapan kami, beberapa orang abang kelas yang berteriak tadi tertawa tyerbahak-bahak dan benar-benar kegirangan.   Kami jadi bingung melikat tingkah laku mereka.  Kami belum juga tahu apa sebabnya mereka tertawa terbahak-bahak.  Maka ditunjuknyalah perut salah satu teman kami yang biasa dipanggil Ndut, karena memang badannya gendut.  Dan betul, celana yang dipakainya kesempitan dan tidak bisa dikancingkan karena tekanan perutnya yang gendut.  Lalu ada yang teriak, itu celanaku…. Kok kau pakai ? tanyanya heran.  Yang lain juga bertanya, hei kelerengku kemana semua ya…mulailah kami memeriksa kantong kami masing-masing sesuai dengan harta benda kami.  Rupanya celana kami sudah bertukar-tukar.  Celanaku sendiri sudah tertukar dengan seorang teman, ketahuannya karena didalam kantong celanaku masih ada kusimpan gambarku nyanyi ketika kampanye partai di kampung kami.  Sedangkan disaku celananya ada disimpan bungkusan tali pancingan.  Kami mulai sibuk mengembalikan celana sesuai dengan pemiliknya.  Sialan, kami dikerjain sama kakak kelas.  Rupanya ketika kami asik mandi didalam sungai, secara diam-diam mereka menukar pasangan baju dan celana kami.  Maklum karena masih baru sehari, dan gugup karena ditakut-takuti atas kedatangan Kepala Sekolah, kami semua tidak sadar bahwa pakaian kami telah tertukar.  Apalagi warna dan potongannya semua sama.

Huhhhhh….. benar-benar jadi permainan.

 

                         Tapi permainan ini rupanya belum selesai.  Bahwa anak kelas satu dan dua yang memang sangat dilarang mandi-mandi di sungai, ketahuan sama guru-guru.  Maka ketika hari Sabtu, dimana anak kelas tiga sampai kelas enam melakukan krida menyapu sekolah, membersihkan halaman dan memangkas rumput-rumput sekolah, anak kelas satu dan dua diberi kesempatan pulang cepat.  Hasilnya, mandi-mandi lagi deeeeeh.   Cuma sekali ini ketiban sialnya jauh melampaui hari tertukar celana waktu itu.

                            Ketika kami asik mandi-mandi, rupanya guru kelas dua duluan pulang.  Anak-anak perempuan yang lagi nonton kami mandi-mandi, disuruh diam oleh beliau.   Lalu disuruhnya empat orang anak perempuan itu mengumpulkan pakaian kami, baju dan celana, diikat jadi empat buntalan pakai ikat pinggang kemudian disuruh bawa pulang ke rumah.  Kemudian beliau berkata :  Ambil baju  kalian  nanti dirumah bapak. Dan…. Mereka pergi berangkat ke desa.  Kami semua berpandang-pandangan.  Bagaimana ini ?  Kita  nggak punya pakaian sama sekali, apakah kita harus telanjang pulang ke rumah ?  Kami terduduk dipematang sungai sambil termenung.   Anak perempuan sambil cekikikan berlarian mendaki jalan setapak meninggalkan lembah  menuju kampung.    

                              Dengan menutupi aurat pakai tas sekolah, kami berjalan lewat jalan tikus, jalan orang yang biasa pergi memancing dan jalan orang mencari burung atau penderes nira.  Kami memilih jalan ini karena pasti tidak ada orang lewat jalan ini.  Sampai pada dataran diatas lembah, di halaman sebuah rumah yang paling dekat dari tebing, ada pakaian yang sedang dijemur.  Kami sepakat mengambil kain sarung yang sedang dijemur, dan satu orang boleh pergi ke rumahnya mengambil pakaian dan kain sarung.  Ronde kedua, terselamatkan enam orang.  Ronde ketiga kami seluruhnya, enam belas orang sudah berpakaian kembali.  Kemudian bersama-sama ke rumah Pak Guru kelas dua, mengambil pakaian sekolah.  Disana kami dinasihati oleh beliau.  Dan kami terpaksa berjanji tidak akan mandi-mandi  di sungai sebelum sampai dirumah sepulang sekolah.  

Oleh: Sony | Januari 11, 2009

TARUHAN atau PERTARUHAN ?

MENANG TARUHAN

 

 

Gedung Induk UGM

Gedung Induk UGM

 

 

 

 

                   Suara dengungan  Fan yang mensirkulasi udara dari dalam Ruang Kuliah II Lantai II Sayap Utara bagian Timur, Gedung Induk Universitas Gadjah Mada, tidak membuat para mahasiswa terganggu dalam menyimak kuliah Filsafat Pancasila siang menjelang sore itu.

Siang menjelang sore begini, kampus memang sepi.  Keramaian hanya ada disepanjang  Jalan Kaliurang yang membelah Kampus Biru menjadi dua, mulai dari perempatan Sekip sampai ke perempatan Selokan Mataram, dimana Bagian Administrasi fakultasku berada.

                   Mungkin karena materi pengajarannya yang menarik atau karena dosennya yang sangat cantik dan pintar.  Yang jelas dari tujuh puluh delapan orang mahasiswa yang kebetulan hanya enam orang berjenis kelamin perempuan, semua terpesona dengan penampilan ibu guru yang diimpor dari Fakultas Filsafat itu.

                  Persatuan Indonesia yang…berketuhanan, yang..berperikemanusiaan, yang demokratis dan berkeadfilan sosial, itulah inti isi mutlak Pancasila  ditinjau dari sisi persatuan dan kesatuan bangsa.  Itulah kata bu  dosen yang sedang menyelesaikan desertasi Doktornya di fakultas sebelah. 

          Ssssst Sis,  responsi praktikum Petrografi udah Acc ? tanya  Pramono yang duduk dibelakangku.  Aku mengangguk, padahal bohong.  Karena laporan praktikumnya saja  belum kuselesaikan, apalagi responsi.  Kudengar dia menghela nafas.  Rupanya dia juga belum menyelesaikannya, fikirku dalam hati.

          Sis, tolong dipinjemin laporannya dong. Ujarnya sambil mencolek-colek pinggangku.  Otomatis aku yang masih perjaka ya kegelian dan menggeliat-geliatkan tubuhku.

          Ada apa di sebelah sana, kok nggak menyimak ? tanya bu dosen

          Sambil memandang ke arah kami, diikuti semua pandangan yang lain. Aku buru buru mencari dalih.

          Ooooh ini bu.  Pram mempertanyakan apakah benar,  sumber inspirasi Pancasila itu merupakan barang olahan dari Bung Karno dari bahan dasar Teori Materialism Karl Max dasn Frederick Engels yang dipadukan dengan prinsip Declaration of Independence nya  Thomas Jefferson.  Karena katanya dibacanya di Buku Sukarno Penyambung Lidahnya Cindy Adams halaman 114,  sahutku mencoba mengalihkan persoalan.  Kudengar Pramono bersungut-sungut dibelakang, keberatan nama dia kubawa-bawa tersangkut paut  dalam pertanyaanku.

          Betul begitu Pram ? tanya bu dosen kearah  Pramono.

          Mmh  anu bu lupa !!! Jawab Pramono.  Ruanganpun gerrrr  merasa geli atas kekonyolan Pram.  Ditinjunya bahuku dari belakang.  Terasa agak sakit, tapi aku tersenyum puas.  Siapa suruh nganggu-ganggu, bicara soal batu-batuan saat kuliah Pancasila.  Itulah hasilnya, diketawain orang satu kelas.

          Sis, Pram, tentang itu akan ibu cari tahu dulu ya.  Aku belum pernah membaca tentang itu.  Minggu depan kita akan gunakan sedikit waktu untuk membahas itu.  Jawab ibu dosen.

Waktu seratus empat puluh menit sudah habis, kami berhamburan keluar ruangan.  Kecantikan ibu dosen ini sebenarnya sudah menjadi buah bibir mahasiswa di fakultas kami. banyak penggemarnya.  Apalagi hari ini, beliau memakai ikat pinggang yang agak lebar. Menonjolkan pinggangnya yang ramping dan pinggulnya yang serasi dengan rok dibawah lutut, dan sepatu hak tinggi yang membuat langkahnya berjuntai anggun.   Maklum fakultas kami adalah salah satu fakultas yang hampir semua laki-laki. Dan pada  siang itu muncul satu tantangan yang sangat menggoda. 

          Siapa yang berani memeluk pinggang  bu Dosen, dan beliau tidak marah, aku traktir makan bakso di Kantin Mak Totok gratis satu kali sehari selama seminggu! Itulah tantangan dari seorang mahasiswa yang bernama Freddy Rangkuti.

                 Dan konyolnya, aku merasa tertantang, walaupun sebenarnya aku bukan mahasiswa yang paling pemberani di kampusku.  Tapi setidaknya, janji membahas pertanyaanku di ruang kuliah tadi membuatku terasa akrab dengan beliau.  Jadilah beberapa orang sebagai saksi (yang kujanjikan akan mendapat satu porsi jika aku berhasil).  Jadi traktirnya tidak seminggu, cukup sekali saja untuk tujuh orang, termasuk si penantang sendiri.  Sambil beriringan menuju Kantor fakultas di perempatan Selokan Mataram, aku memperlambat langkah tatkala ibu dosen dan beberapa mahasiswi berjalan beriringan dibelakang kami.

                     Aku mendekati kelompok mereka dan menyapa bu dosen.  Bu dosen mempertanyakan buku yang kusebutkan  pada waktu di kelas, dan tentu saja dengan senang hati kukatakan di perpustakaan fakultas kami, ada beberapa buah.  Dan aku menjanjikan untuk meminjamkannya untuk ibu dosen, dan beliau setuju (untuk bu dosen apa sih yang tidak diperjuangkan…hi..hi..hi).

              Maka kamipun berjalan beriringan dengan beberapa mahasiswi.  Pada saat mau menyeberang Jalan Kaliurang yang agak padat siang itu,  aku mewanti-wanti bu dosen agar hati-hati.  Dan ketika agak kosong, seakan tidak sengaja kupeluk pinggang beliau dan mengajaknya cepat-cepat menyeberang.  Ketika aku memeluk pinggangnya dan mendorong untuk maju menyeberang, kulambaikan tanganku yang satu lagi agar pengendara motor memberi jalan kepada kami untuk nyebrang.  Ibu itu tersenyum melihat caraku menyeberangkan beliau.

                   Dan tanpa banyak bicara aku secepatnya pergi ke Perpustakaan dan meperoleh buku tersebut dalam beberapa menit saja. Dan terbang ke ruang tunggo dosen trus menyerahkannya kepada beliau. Beliau gembira menerima buku itu, dan tanpa ragu-ragu memegang tanganku untuk jangan pergi dulu.  Karena beliau ingin membuktikan apakah halaman 114 itu ada berisi kata-kata yang kusampaikan di ruang kuliah.  Agak terkejut juga aku mendapat serangan kilat seperti itu, tapi beruntung, masalah itu memang diulas disana.  Dan beliau pun mempebolehkan aku keluar ruang dosen.  Sambil mengangguk hormat kepada dosen-dosen lain, aku buru-buru keluar dan terbang ke kantin.

                Sampai di kantin, aku dan keempat temanku elakukan toss tanda kemenangan.  Aku berhasil memeluk ibu dosen itu selama satu menit lebih tanpa ada reaksi keberatan dari beliau.  Bakso—baksoooo—baksooooo. menang…menang..menangngngng.

                   Tapi Freddy nampaknya  keberatan. Dia berpendapat bahwa caraku memeluk dengan cara mencuri itu termasuk perbuatan curang.  Tapi aku katakan bahwa beliau sadar kok dengan pelukanku.  Dan akhirnya kami minta pendapat Mak Totok sipemilik kantin sebagai orang netral.  Dan keputusannya, pelukanku syah secara fisik dan mental (hah.. teori apaan ini?)  dan baksopun keluar dari dapurrrrr.

                    Seminggu berlalu, kesibukan  kuliah berjalan seperti biasa.  Dan hari ini menjadi istimewa karena akan berjumpa lagi dengan ibu dosen yang keanggunannya sangat menyejukkan itu.     Ketika ibu dosen itu memasuki ruangan, kami semua mengucapkan salam selamat siang dan basa basi lainnya. Dan saat beliau akan memulai kuliah dia mendahuli dengan komentar.

          Aku sudah berjanji akan membahas buku Cyndi Adams di akhir kuliah nanti. Dan aku mengucapkan terima kasih kepada saudara Sis, karena dia begitu bersemangat meminjamkan buku ini kepadaku! katanya sambil menunjukkan buku Cindy Adams itu.

          Tapi sebenarnya ada lagi yang lebih menarik untuk dibahas. Aku ingin bertanya, apakah baksonya minggu kemaren cukup enak ?  Siapa saja sih yang dapat traktiran ? Kok ibu nggak dibagi ? Padahal ibu sudah dijadikan sarana pemenangan pertandingan ?.  Harusnya aku kebagian  dong. Ujarnya sambil tersenyum.  Ruangan hening seperti heningnya tamabn makam pahlawan ditengah malam sunyi.

Mati aku….. mampus beneran nih…..pikirku dalam hati.  Kulirik Freddy, dia tertunduk melirikku sambil menggoyang tangannya di leher, lambang gerakan menyembelih.  Bagaimanapun ini bakal menyulitkan.  Sempat mata kuliah ini nggak lulus… ngulang lagi tahun depan.  Kalau masih ibu ini juga yang mengajar, gimana nih ? Mana mata kuliah ini wajib lulus lagi.   Sepanjang  kuliah aku tidak konsentrai.  Bahkan  ketika dilakukan pembahasan  tentang sosio demokrasi dam ketuhanan versi Bung Karno, aku sudah tidak tertarik lagi. Sore itu aku aku curhat dengan teman-teman, apakah kira-kira beliau tersinggung ? Dan pendapat mereka malah melebihi jumlah orangnya.  Ada yang setuju kalau aku minta maaf.  Tapi ada juga yang merasa tidak perlu.  Kalau minta maaf malah nanti  persoalannya makin dalam.  Duh bakso…. Bakso.   Gimana nih nasibku. Apakah semata-mata karena bakso, atau memang ingin mencari perhatian ibu dosen itu dengan cara sok pintar segala ?  Yang jelas gara-gara memenangkan taruhan malah jadinya mempertaruhkan kelulusan.

 

Oleh: Sony | Januari 5, 2009

Berkelahi Dengan Waktu

ANAK-ANAKKU, AKU CINTA KALIAN

 

Kalau kita bicara mengenai sayur-sayuran maka untuk Sumatera Utara, Tanah Karo lah sebagai barometernya.  Di Tanah Karo khususnya di Kecamatan Tiga Panah, Kecamatan Barusjahe, Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Daulat Rakyat, Kecamatan Merdeka dan Kecamatan Berastagi, adalah sentra produksi sayur-sayuran yang terdiri atas  kol, kentang, tomat, cabai, petsay, sawi, lobak, wortel, seledri, kacang-kacangan, yang setiap harinya berpuluh-puluh ton diproduksi dan dikeluarkan dari  enam kecamatan tersebut melalui empat pusat pemasaran yakni Tiga Panah, Tiga Lau Gendek, Tiga Berastagi dan Tiga Singa. Jam beroperasinya pasar ini adalah Pk. 10.00 pagi sampai pk 17.00 sore. Penjual adalah para petani langsung dari desa-desa dan pembelinya adalah pedagang sayur yang akan memasarkannya di wilayah Sumatera Utara atau ke kota lain di luar propinsi seperti Kepulauan Ria, Jambi, Aceh, Jakarta, serta pemasaran dalam propinsi seperti ke Medan, Pematang Siantar, Kisaran, tanjung Balai dan Rantau Prapat. 

              Posting kali ini tidak menyoroti bagaimana sayuran itu diproduksi, atau dikirim ke antar propinsi, tapi dikhususkan membahas  tentang kehidupan para pedagang sayuran yang khusus menjadi pemasok kebutuhan di kota Medan.

Pasar induk sayuran yang utama di kota Medan adalah  Pusat Pasar atau Pasar Sentral, yang memulai geliatnya pada pukul 00.00 WIB setiap hari.  Pasar Induk ini merupakan gudang-gudang sayuran yang kemudian dipecah menjadi keranjang-keranjang sayuran dan seterusnya dipasarkan kepada pemasok pasar pagi berikutnya seperti Pasar Bengkok, Pasar Sambas, Pasar Simpang Limun, Pasar Pagi, dsb.  Sebagian oleh pedagang pengecer dipasarkan di pasar Sentral dengan waktu berjualan sampai pukul 08.00 WIB.

Para pedagang ini pada umumnya memiliki armada Pik-up Mitsubishi L-300, karena kalau memakai Truk, dialarang masuk ke pusat kota.

              Sperti kita ketahui bahwa waktu beropareasinya pasar sayur di Tanah Karo adalah siang sampai sore hari, maka para pedagang sayuran tersebut akan berangkat dari Medan menuju Berastagi sekitar pukul 10.00 sampai pk 12.00 WIB.  Jarak waktu tempuh dari Medan ke Berastagi sekitar dua jam.  Sehingga waktu  para pembeli ini untuk bernegosiasi dengan petani sayur lebih kurang sekitar empat jam.  Sekitar pukul 16.00 semua sayuran yang sudah dibeli, dipaking dan disusun rapi diatas mobil Pik-up, untuk dibawa ke Medan. Pukul 18.00 – 20.00 WIB, mereka menggudangkan barang-barangnya masing-masing.  Sejenak mereka pulang ke rumah masing-masing untuk istirahat. Kemudian pk. 24.00 mereka sudah berangkat dari rumah menuju gudang di pusat pasar dan mendistribusikan syurannya kepada pelanggan, baik yang menjual eceran diseputar pasar sentral maupun borongan untuk pasar sayur (pagi) yang lain.  Sekitar pk. 02.00 WIB, pedagang makanan bubur, mi goreng, kopi susu, the susus, martabak, piang goreng, nasi uduk (pulut),  sudah menebar dagangannya untuk melayani kebutuhan para makelar sayur ini.  Mereka berjualan di jalan-jalan di depan toko-toko di kawasan pasar pusat Medan seperti Jalan Sutomo, Jl. Bintang, Jl. Bulan, Jl. Riau, Jl. Rupat dll.  Pukul 07.00 pagi semua areal tersebut sudah dibersihkan, karena toko-toko akan segera buka.  Para makelar sayur tersebut mengutip uang dari seluruh pedagang pngecer yang tadinya mengebon sayuran, sesuai catatan.  Baik pengecer maupun pedagang borongan bubar saat itu.  Pedagang borongan pulang kerumah, beistirahat sampai pk. 10.00WIB.  Selanjutnya mereka kembali berangkat ke Berastagi untuk siklus berikutnya.

Kalau keuntungan ? Wah ada istilah mereka rejeki harimau.  Misalnya ketika harga rata-rata  cabe merah sekitar Rp. 20.000,- per kilogram, maka apabila mereka membeli di Berastagi dengan harga Rp. 17.000,-/kg dan menjualnya di partai borongan seharga Rp. 21.000,-/kg mereka dapat untung Rp. 4.000,-/kg.  nah kalau mereka membeli sebanyak satu ton, maka untungnya satu malam itu kotor sebesar  empat juta rupiah.  Tapi kalau pas lagi apess, tomat yang dibeli di Brastagi seharga Rp. 3.000,-/kg dijual di Medan seharga Rp. 4.000.-/kg dan bisa saja nggak habis.  Tambah biaya lagi sewa gudang.

          Terlepas dari masalah untung rugi, yang sebenarnya sangat tragis adalah komunikasi antara orang tua dengan anak.  Sangat memilukan. Ketika anak-anak bangun pagi, mandi, sarapan dan berangkat ke sekolah, semua itu dilakukan pada jarak waktu pk 06.00 sampai 07.00 pagi. Sementara orang tua mereka masih berada di pasar sentral. Pukul 08.00 pagi orang tua datang kerumah, anak-anak sudah berada di sekolah. Pk. 10.00 orang tua berangkat lagi ke  Berastagi, anak-anak belum pulang sekolah. Anak-anak pulang sekolah dan  berada dirumah mulai dari siang sampai sore, makan malam pk 19.00 malam, orang tua mereka belum pulang dari gudang.  Ketika orang tua mereka pulang dari gudang Pasar Sentral sekitar pk 20.00 malam, mereka semua sudah tidur. Sehingga dalam 24 jam satu hari, mereka sama sekali tidak melakukan komunikasi.

Demikianlah kehidupan anak-anak ini, menjadi anak pembantu, dan memecahkan persoalannya sendiri tanpa bimbingan orang tua.  Sungguh ironis, tapi itulah perjuangan hidup kaum pedagang sayur, khususnya di Sumatera Utara.

Oleh: Sony | Januari 2, 2009

SARANG BURUNG MANYAR

Burung Tempua

Burung Tempua

KENANG-KENANGAN HIDUP

 

Setahun aku bersekolah di desa, kami telah membuka ladang padi yang dikenal dengan nama Juma Nangka.  Lahan ini telah ditinggalkan sejak Perang Kemerdekaan II, yaitu Tahun 1949 empat tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI.  Perladangan itu ditinggalkan ibu saya karena belau bersama kakak saya yang tertua ikut mengungsi ke pedalaman sesuai Perintah Revolusi Bung Karno, yakni melakukan Mobilisasi Umum sebagai unjuk rasa atas Aksi Polisional Belanda yang kedua yang akhirnya melahirkan Perjanjian Renville. 

Kembali ke cerita awal, kami membuka perladangan itu  setelah tiga puluh tahun diterlantarkan (itupun setelah ibu memutuskan pulang ke kampung dari kota – posting masa kecil di desa), dan kondisinya sudah menjadi belukar.  Ketika pekerja-pekerja pembabatan sudah selesai dan dilakukan pembakaran setelah disingkirkan kayu-kayu yang bisa dipergunakan, dilereng bukit sebelah Timur ada hutan bambu yang dibiarkan seperti semula.  Kemudian dengan tidak sengaja, aku menemukan sarang burung  bergantung pada pucuk sebatang bambu yang terkulai dipinggir hutan bambu itu. Tingginya dari tanah kira-kira empat meter.  Kata ibu, itu adalah sarang burung tempua, bentuknya sangat menarik dan dia punya dua buah pintu masuk, seperti kacamata. Didalam buku pelajaranku  (Ilmu Hewan karangan Pak Kuncoro Hadiwidjojo, Terbitan Fa Hasmar Medan), ada contoh sarang itu, tapi nama burung itu disebut Burung Manyar.  Hampir setiap kali ada kesempatan aku menjenguk sarang burung itu dan menatapnya berlama-lama,  kalau beruntung, aku dapat menyaksikan burung itu pulang balik ke sarang membawa daun-daun kering dan yang masih hijau untuk dijalin menyempurnakan sarangnya.  Sungguh ajaib, dan bagiku burung tempua ini memang arsitek dan seniman yang sangat handal.

Satu ketika, disekolah aku bercerita kepada beberapa teman tentang sarang burung tempua itu.  Dan dengan penuh semangat dan rasa bangga, aku mengajak empat orang teman satu sekolahku untuk menyaksikan sarang burung tempuaku itu.  Kami mengendap-endap mengintipnya dan menyaksikan burung itu menyelesaikan sarangnya.  Puas menyaksikan kegiatan burung yang telaten itu, kami pergi mandi ke sungai dan pulang ke rumah.

Biasanya kalau Sabtu ayah datang dari kota, tapi sekali itu ibu malah mengajak aku ke kota menjenguk keberadaan kakak, sekalian mengantar kayu bakar  dari bekas  tebasan pembukaan ladang.  Kami menumpang Otoprah milik saudara sepupu ayah yang berprofesi sebagai pengumpul padi hasil panen di kampung untuk dijemur dan digiling menjadi beras di kota. Jadilah dua hari itu ladang tidak kami jaga.

Hari senin siang sepulang dari sekolah, buru-buru  aku mengontrol sarang tempuaku, eh ternyata sudah tidak ditempat.  Pohon bambu tempatnya bergantung sudah patah dan terkulai di tanah.  Aku sangat sedih karena sejak mendapatkan sarang burung itu, aku sangat rajin pergi ke ladang.  Dengan lemas aku pulang ke desa.  Hatiku tambah sedih karena di tanah lapang desa kulihat orang bermain-main menyepak-nyepak sarang burung.  Ketika aku mendekat, sarang burung itu mereka tinggalkan begitu saja, dan nampaknya sebagian dari yang bermain itu tidak mengetahui asal muasal sarang burung tersebut.  Kuambil sarang yang telah terkoyak itu, dan dengan air mata berlinang aku berjalan menuju ke rumah.  Diperjalanan aku berpapasan dengan seorang saudara sepupuku (kakek kami bersaudara), dia lebih  tua empat tahun dariku.  Lalu dia mempertanyakan kenapa aku bersedih, maka kuceritakan apa yang terjadi dengan sarang burungku.  Maka dia tanyakan anak-anak yang masih ada di tanah lapang itu, siapa yang mereka ketahui membawa sarang burung tersebut.  Lalu mereka menyebut nama seseorang, yang memang menurutku sangat bandel.  Ibunya meninggal ketika dia baru lahir dan dia diasuh begitu saja sekenanya oleh ayahnya dan familinya.  Ayahnya menumpang (minta ijin)  menderes nira pada pohon enau/aren yang banyak tumbuh di ladang kami dan ayah mengijinkannya. Ayah mengingatkan ibu, supaya mereka dibiarkan mencari nafkah di ladang kami. Kasihan, istrinya sudah meninggal, anaknya ada empat. Dan memang, dia adalah salah satu dari empat teman yang kuajak tiga hari sebelumnya untuk melihat sarang burung itu.  Ah… dasar anak bandel dan pengkhianat pikirku.  Beginilah kalau anak tidak mendapat kasih sayang dari seorang ibu, kasar, sirik, khianat dan tidak penya perasaan.

Setelah mengetahui oknum yang melakukan pencurian sarang burung itu, maka saudara sepupuku tersebut langsung mencari yang bersangkutan melalui abangnya yang kebetulan seumuran dengan saudara sepupuku itu.  Lalu mereka berdua mendapatkan anak itu sedang bermain di sungai.  Setelah diinterogasi oleh kedua orang itu,  anak tersebut mengaku. Karena malu dan jengkel, maka abangnya dengan geram memukul dan menceburkan  adiknya kedalam sungai sampai menjerit-jerit.  Kebetulan ada seorang ibu yang sedang mencuci pakaian di sungai, maka dilerainyalah mereka.

Pada malam harinya, datanglah ayahnya bersama dengan anak itu ke rumah kami dan meminta maaf atas kejadian itu.  Ibuku mengatakan tidak menjadi masalah, jangan sampai gara-gara sarang burung anaknya dipukuli, karena itu telah dilakukan oleh abang kandungnya sendiri.

Tapi rupanya anak ini dendam dengan hukuman yang diterimanya dari abang kandungnya dan karena disuruh ayahnya meminta maaf.  Maka ketika di sekolah saat istirahat, dia memindahkan tas sekolahku ke kelas lain.  Ketika pelajaran akan dimulai, aku melapor kepada guru bahwa tasku hilang dari laci bangku, dan tidak berapa lama ada juga sudara sepupuku perempuan yang berada di kelas lain tersebut mengetuk pintu kelas dan menyerahkan tas itu kepadaku, dan melaporkan bahwa yang memindahkan tas itu kesana adalah kawan tersebut.  Kontan yang bersangkutan mendapat hukuman berdiri di kelas sampai pelajaran terakhir.

Tidak terima dengan kenyataan tersebut, maka dengan gaya provokatif,  aku kembali diganggu di jalan.  Karena  tidak tahan dengan teror yang dilakukan, aku mengambil keputusan untuk melawan, dan ketika perkelahian berjalan seru bergumul dirumput dan semak-semak, datanglah Kepala Sekolah yang sebenarnya adik kandung  Mak Tua ku. Melihat aku berkelahi dia marah besar. Dia mengancam akan memulangkan aku ke kota kalau kerjaanku di desa hanya berkelahi.  Sebaliknya, lawanku berkelahi itu pun mendapat hukuman dari ayahnya.  Diikatnya kawan ini di pohon enau dan dilibasnya pakai pohon markisah sambai bilur-bilur merah membiru sekujur badannya.  Sialnya kawan ini besoknya  malah pamer bilur lukanya sambil membuka baju, berjalan-jalan di halaman sekolah.  Banyak yang menyarankan agar aku mengalah saja, dan minta damai.  Tapi dalam fikiranku, apa yang harus kudamaikan dengan dia.  Toh yang menghukum dia saudaranya sendiri, ayahnya sendiri. 

Pada hari Sabtu berikutnya ayah datang dari kota, maka diceritrakan ibu kejadian selama seminggu itu. Semula aku berharap, ayah marah dan memanggil anak itu bersama orang tuanya dan memaki-makinya dan melarangnya mengmbil nira di ladang kami.  Tapi ternyata harapanku tidak terkabul, ayah sama sekali tidak marah dengan kejadian itu.  Justru yang dikuatirkannya adalah kalau aku mendapat penilaian anak bandel karena berkelahi di sekolah. Maka bertigalah kami ke rumah paman (Kepala Sekolah), dan ayah bertanya apakah peristiwa ini dapat mengganggu sekolahku.  Kata paman, sekali-sekali perlu juga anak ini (aku) diberi tantangan, karena terlalu dimanjakan, nanti dia menjadi cengeng. Anak laki-laki memang harus pandai berkelahi.  Ayah hanya tersenyum dan menatap saya sambil menepuk-nepuk pipi. Aku hanya tertunduk.  Otot  kecilku ini mana kuat untuk melawan anak yang terlatih kerja keras setiap hari seperti lawanku berkelahi itu ?  Tapi aku juga nggak merasakan suatu kekhuatiran.  Menurutku kalau hanya gelut dan bertinju tidak akan bisa membuat kita mati.  Kecuali kalau membawa belati atau parang atau sabit. Maka ayah tetap membiarkan aku bersekolah di desa.  Dan tempaan mental di desa pun berlanjut terus sampai aku kembali ke kota.  Kini kalau aku pulang ke kampung dan berjumpa dengan teman-teman lama itu entah di pesta adat atau di kedai kopi atau di jalan, menjadi bahan nostalgia dan menjadi sumber ledek-ledekan yang tak pernah habis-habisnya.

   

Oleh: Sony | Desember 25, 2008

INIKAH NAMANYA SALAH KAPRAH ///

PERCUMA alias USAHA YANG SIA-SIA ?

 

              Kata-kata diatas merupakan kata-kata yang sangat tidak diingini oleh siapapun.   Tapi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah satu usaha yang nampaknya dilakukan dengan serius namun tidak paripurna.

Satu pagi, sebagaimana biasa aku dengan isteri jogging dijalan lingkungan tempat kami tinggal.  Ada satu ruas jalan lurus  sepanjang 1.250 m,  bersih dan sepi.  Satu lagi, disini tidak ada anjing berkeliaran, sehingga sangat cocok untuk dijadikan trek lari pagi atau jogging.  Aku biasanya melakukan jalan cepat di trek ini sebanyak dua kali pulang balik atau sekitar 5000 m.  Nah pada hari Selasa kemarin, aku menjumpai seorang laki-laki  dengan berumur kurang lebih enam puluh tahun, menggunakan training suit, bersepatu kanvas, berjalan layaknya orang berolah-raga pagi, tapi tingkahnya sangat mengherankan, karena dia berolah raga sambil merokok.  Dibawah sinar lampu jalan yang berwarna kuning kemerah-merahan,  kepulan asap rokoknya bergerak naik keudara karena memang sepagi itu belum ada tiupan angin.  Mataku lekat menatapnya sambil melangkah cepat, dan istriku mengingatkan jangan sampai leherku patah berputar.  Hanya dalam hatiku, apa yang diinginkan  bapak yang satu ini ?  Kepada istrinya atau anaknya pastilah dia katakan : aku berangkat olah raga…. Olah raga yang salah kaprah.

              Ada satu cerita  tentang  kepatuhan terhadap nasihat dokter.  Adalah seorang laki-laki yang mengidap penyakit penyempitan pembuluh darah – angina pektoris – yang membuat kondisi jantungnya menjadi tidak sehat.  Menurut nasihat dokter, sebaiknya  si bapak ini berolah-raga mengelilingi Stadion Teladan, (kebetulan rumahnya memang di Jalan Turi, dekat stadion itu), setidaknya dua kali putar dalam satu hari.  Tidak usah cepat, lambat saja atau kira kira satu jam untuk dua kali putaran.  Maka diapun menyanggupi.  Keesokan harinya, sekitar pukul tujuh pagi keluarlah dia dari rumah menuju Stadion Teladan, dengan menaiki becak langganannya.  Sampai di stadion, disuruhnya tukang becak mendayung becaknya lambat-lambat sehingga dapat dua kali putar dalam satu jam.  Kemudian mereka pulang.  Sebulan kemudian dia kembali diperiksa, penyakitnya tambah parah, sehingga si dokter heran. Usut-punya usut, rupanya terjemahan mengelilingi stadion sudah salah kaprahi.

               Cerita lain, yang termasuk usaha sia-sia  adalah tentang seorang tukang pedati yang sedang mengangkut  padi dari ladang menuju ke kampung.  Karena jalan juga tidak begitu bagus, lagi beban bawaan juga sangat berat, terasa hentakan kaki kerbau begitu berat dan kelelahan.  Maka timbullah niat si kusir pedati untuk meringankan beban kerbaunya.  Maka dipikulnya-lah satu goni di pundaknya (maksudnya agar kerbau tidak terlalu berat bebannya), tapi dia tetap diatas pedati.  Pundaknya kejang kecapaian, beban kerbau sama  sekali tidak berkurang.  Kaprah apa ini namanya ya ?

Cerita berikutnya adalah tentang upaya mengikuti ketertinggalan saat kuliah dulu.  Banyak temen-temen karena keasikan berorgan isasi, rapat sana-rapat sini, sampai-sampai  ketinggalan mengikuti kuliah.  Nah, menjelang ujian (zaman dulu istilahnya tentamen),  semua  ketertinggalan catatan kuliah dipinjam sama teman, kemudian terbang ke tempat fotokopi.  Maka dibawalah kerumah satu kardus fotokopi catatan.  Tapi ternyata tidak juga dibaca, apa gunanya yaaaa?

              Ada lagi yang lebih ngawurrr, itu sobatku Guntur yang sekarang tinggal di Kepulauan Riau…. Halo Pak Guntur.!!!!!!!  Ketika kami masih bujangan (belum beristri), kami tinggal di Mess Pegawai di Padang.  Nah, kalau hari sudah pagi dan kamar sudah terang karena sinar matahari,  sementara matanya masih ngantuk karena begadang semalaman mengerjakan hasil survey lapangan, maka dengan mata terkantuk-kantuk didobelnya hordeng jendela supaya gelap kembali, dan katanya: Masih gelap, mari kita lanjutkan tidur kita……

             Bahkan yang lebih keren lagi adalah teori teman saya yang Mahasiswa Fakultas Peternakan (dulu): Ketika musim kemarau, tentunya padang rumput di  Pulau Madura  pada mengering. Nah, supaya  selera sapi-sapi madura ini tetap terpelihara dengan baik,  maka sebaiknya semua sapi-sapi disarankan untuk dipakaikan kacamata berwarna hijau, biar rumput kering itu oleh sapi nampak hijaaaaauuuuuuu semua, dan melahapnya sampai kenyang.  Apakah  hipotesa kawan ini akhirnya bisa jadi teori dan diterapkan di Madura, aku kurang tahu karena semenjak kutinggalkan Bulaksumur, kami nggak pernah jumpa lagi.

               Penutup nih, sekali waktu ada  pegawai pada satu instansi ( akhir-akhir ini  orang ini dicap kurang waras) mengunci  pintu ruangan boss-nya dari luar, sehingga  ketakutanlah si boss terkurung didalam kamar sendiri.  Maka berteriaklah si boss, dan datanglah pegawai lain membuka pintu tersebut dengan paksa alias dirusak.  Sibos marah bukan main, maka dilaporkanlah perbuatan si anak buah kepada polisi, dan yang bersangkutan dibawa polisi ke markasnya alias mapolsek.  Ketika dilakukan BAP alias proses verbal, untuk membuat si tersangka dapat mengaku mengapa dia mengurung boss-nya, maka setelah pertanyaan keempat alias  apa jabatan dan surat keputusan nomor berapa dst, sang juru periksa pergi memesan kopi ke kedai sebelah kantor.  Sang Juper memperlambat waktu dan ngopi dulu di warung.  Merasa ditinggalkan, sang tersangka  pun pergi kembali ke kantor.  Ketika Juper kembali, sang tersangka sudah raib.  Maka dikejarnya kembali ke kantor untuk mencari tahu alamat si tersangka.  Eh…malah jumpa yang bersangkutan di kantor.  Dengan marah pak Polisi bertanya: Kenapa bapak melarikan diri ??????? Dengan kalem dia menjawab : Mana ada saya lari pak polisi, saya kan hanya berjalan  lambat-sambat…….

Oleh: Sony | Desember 19, 2008

Kisah Si Cerdik Cendakiawan

LPJ versi CENDAKIAWAN

 

Kisah ini kudapatkan waktu aku masih Sekolah Dasar, dari dongeng lama, yang sekarang kuceritakan  kembali dengan kata kataku sendiri.  Aku sangat terkesan dengan cerita ini, karena menurutkau tema dan misi yang dibawanya tidak pernah lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas alias tidak pernah ketinggalan zaman. Kupilih judul Laporan Pertanggung Jawaban sang Cendakiawan, karena bulan Desember sekarang ini merupakan saat-saat sibuk menyusun Laporan Pertanggung Jawaban para Satuan Kerja dan Pemerintah Daerah.

Cendakiawan adalah seorang laki-laki yang imut dan tampan, cerdas dan mempunyai penampilan yang sangat menawan bagi lawan jenisnya, dan sangat menyenangkan bagi sesama lelaki, karena supel dan perlente.  Karena kisah ini setting waktunya juga memang dimasa kerajaan-kerajaan zaman dahulu, maka plot ceritanya juga sewarna dengan zamannya.

Al kisah, Cendakiawan dalam pengembaraannya dari satu negeri ke negeri lain, terdamparlah dia ke satu kerajaan yang saaaaangat makmur.  Ketika Cendakiawan memasuki gerbang kota itu, maka prajurit pengawal pintu gerbang langsung menahan dan memeriksanya.

         Saudara datang dari mana ? tanya sang prajurit.

                               Aku dari negeri antah berantah.- jawab Cendakiawan.

                     Maka terjadilah dialog antara mereka, dan nampaknya Cendakiawan mengatakan bahwa dia adalah tamu undangan sang Raja, penguasa negeri itu.  Dan konyolnya, sang prajurit percaya penuh tanpa curiga, bahkan dia bersedia  mengantarnya ke gerbang istana raja.  Nggak tanggung-tanggung Cendakiawan mengibuli semuanya, sehingga diapun oleh penjaga istana dibawa kehadapan raja.

                     – Sebelumnya, ampunkan hamba baginda, karena datang tanpa memberi khabar terlebih dahulu. Tapi ijinkanlah hamba menyampaikan salam hormat dan persaudaraan dari Raja negeri hamba.- sembah  Cendakiawan sambil menunduk-nunduk bersimpuh ke lantai.

                     Sang raja pun mengangguk-angguk dan dengan bangga menatap seluruh para penteri dan pangeran disekitarnya, sambil memelintir kumisnya.  Nampak raja itu amat garang tampangnya.

                     – Jadi, adapun kedatangan hamba ke kerajaan tuanku adalah sebagai utusan Bginda Raja kami, untuk menyampaikan  hadiah berupa lukisan baginda dan Permaisuri, sebagai hadiah ulang tahun Baginda Raja.- ujar Cendakiawan pula. Terdengar olehnya bisik-bisik para pangeran yang keheranan karena sebenarnya ulang tahun raja masih lima bulan lagi.

                     Dan hasil Cendakiawan nguping segera diolah oleh otaknya yang encer.

                     – janganlah baginda gusar, memang Raja kami tahu Baginda akan berulang tahun masih lima bulan lagi.  Tapi karena untuk melukis wajah baginda dan permaisuri membutuhkan waktu  hampir lima bulan, maka hamba mengambil kebijaksanaan untuk segera datang ke istana Baginda.- ujar Cendakiawan pula. 

                     Raja terpukau dengan segala ocehan Cendakiawan, sehingga iapun menyetujui dilaksanakannya pembuatan lukisan di dinding istana.

                     – Kisanak Cendakiawan, ingsun (emangnya raja Jawa, ini kan cerita Melayu), aku sudah mendengar penjelasanmu dan aku setuju.  Kamu akan dilayani di istana sebaik-baiknya, dan kamu harus menyelesaikan tugasmu dengan baik.  Tapi jika hasilnya mengecewakan aku, maka kutitahkan hukumanmu hukuman pancung.- bagai disambar petir rasanya dikuping Cendakiawan mendengar titah raja.  Tapi dasar mental sudah begitu kuat, dia hanya mengangguk membungkuk tanda setuju.

                     Dengan menampung berbagai usul, akhirnya Raja memutuskan supaya semua keluarga istana, Raja, Permaisuri, Pangeran-pangeran, Putri-putri, semua dilukis pada sebuah dinding yang paling megah didalam istana raja. Maka langkah pertama yang diminta Cendakiawan adalah meminta seluruh kerabat istana yang akan dilukis, berdandan segagah dan secantik mungkin dan berpakaian semegah-megahnya, dan besok pagi berkumpul diruangan tempat dinding yang dilukis agar ditata letaknya seserasi mungkin.  Semua setuju.  Maka malam itu Cendakiawan sudah diberikan kamar yang mewah berikut pelayan dan makanan yang berkelas istana.

                     Singkat cerita, besok paginya semua sudah berkumpul di istana.  Maka oleh Cendakiawan ditatalah susunannya sesuai dengan jabatan pangkat dan derajatnya masing-masing.  Kemudian Cendakiawan membuat sket satu persatu diatas kertas konsepnya (kita tidak tahu, serius atau pura-pura).  Kemudian oleh Cendakiawan diperbolehkan pulang satu persatu.  Cuma sebelum pulang Cendakiawan sempat berpesan bahwa kegiatannya melukis dipersyaratkan dengan Tapa Geni, maka supaya dinding itu harus ditutup dengan kain, dan sebelum sampai waktu yang ditetapkannya, siapapun tidak boleh membuka tirai itu.  Apabila dibuka sebelum jatuh tempo (emang kredit), maka lukisan itu akan pudar kena cahaya matahari.  Dan selama bertapa dia tidak boleh diganggu kecuali atas permintaan Cendakiawan sendiri, supaya tidak merusak konsentrasi.  Dan permintaan inipun diamini oleh Baginda Raja sebagai Perintah Raja..

                     Maka ketika Cendakiawan sudah beristirahat di kamarnya,  tiba-tiba datanglah seorang utusan yang mengaku utusan raja.  Utusan itu menyampaikan pesan Raja, supaya hidung Raja yang agak pesek itu dimancungkan sedikit supaya tambah gagah.  Begitu juga rambut Permaisuri yang sudah beruban dihitamkan supaya kelihatan muda jelita. Cendakiawanpun menyanggupi, dan pulanglah utusan itu dengan gembira. Belum lama utusan itu pergi datang lagi utusan dari Perdana Menteri, yang berpesan agar wajah Tuan Perdana Menteri yang bopeng itu dihaluskan supaya nampak gagah. Cendakiawanpun menyanggupi. Belum lama utusan itu pergi datang lagi utusan dari Pangran Tua, yang berpesan agar wajah Isteri pangeran yang ada tompelnya di pipi dihapuskan  supaya nampak semakin jelita. Cendakiawanpun menyanggupi. Demikianlah sejak siang sampai maghrib Cendakiawan menerima utusan para anggota keluarga istana yang mau dilukis itu, agar semua kelemahan dan kekurangannya dapat ditutupi, dan konyolnya Cendakiawan tetap menyanggupi.

                     Lelah menerima utusan – utusan itu, Cendakiawan merebahkan dirinya diatas kasur sambil mengeluh.

                     – Huh.. semua minta gagah, semua minta cantik.  Kalau begitu lebih baik tidak kulukis saja.- ujar Cedakiawan sambil mengipas-ngipaskan topinya ke wajahnya.

                     ***

                     Singkat cerita, selama lima bulan itu, Cendakiawan kerjanya hanya makan minum saja di Istana Raja.  Segala makanan yang enak-enak disuruhnya hidangkan dan segala kesenangan-kesenangan istana dinikmatinya dengan santai.  Tapi lukisan itu belum juga dikerjakannya walau satu gores pun.  Sementara Baginda Raja dan Permaisuri beserta sekuruh penghuni Istana menunggu dengan tidak sabar, saat-saat  penyaksian lukisan itu.  Hampir siang malam itulah yang menjadi pergunjingan di kerajaan itu.  Maka karena sudah tidak sabar, Raja memerintahkan Perdana Menteri untuk memanggil Cendakiawan.

                     – Kisanak Cendakiawan, karena seluruh isi istana sudah tidak sabar menantikan saat pembukaan tirai lukisan itu, maka kuperintahkan agar lukisan itu kita buka besok pagi.- titah  Raja.  Cendakiawanpun menyanggupi, tapi ada peryaratannya, yakni penyaksiannya harus dihadapan seluruh lapisan rakyat yang ada di Kota Raja, baik dayang-dayang, serdadu, pedagang, petani dan lain-lain yang bisa masuk ke Istana.  Walaupun merasa aneh, Raja menyanggupi, dan diperintahkannya para prajurit untuk mengumumkan kepada rakyat agar hadir di istana untuk menyaksikan lukisan raja dengan pangeran-pangerannya.

                     Keesokan harinya,  seluruh rakyat berjejal-jejal di Balairung Istana, dimana tembok tertinggi yang sudah ditutup tirai akan dibuka.  Maka sebelum tirai dibuka dihadapan Baginda Raja dan seluruh rakyat, berpidatolah Cendakiawan.

                     – Bagida raja dan para pangeran yang hamba sembah.  Mengerjakan Lukisan Keluarga Istana, sudah sewajarnya diperlengkapi dengan persyaratan Tapa, Semedhi, dan Penyatuan Jiwa bersama dayang-dayang Kahyangan.  Dan bersyukurlah kita, Lukisan ini selesai tepat waktunya.  Karena Lukisan ini adalah lukisan yang sangat luhur, terus terang kukatakan Baginda,  hanya yang benar-benar berdarah ningrat dan berdarah biru yang mampu melihatnya.  Jika dia hanya rakyat jelata biasa, saya pastikan dia tidak akan melihat wajah baginda raja didalam lukisan ini. – demikianlah pidati Cendakiawan didengar oleh seluruh rakyat.  Maka oleh Cendakiawan dibantu para prajurit dibukalah tirainya, dan… yang nampak hanya tembok putih bersih.

                     Maka kaum rakyat jelata satu-persatu meninggalkan istana dan bergumam mengamini bahwa mereka memang benar-benar bukan keturunan ningrat atau darah biru, karena terbukti mereka tidak melihat apa-apa kecuali tembok putih.

                     Sang Baginda Raja juga sebenarnya tidak melihat apa-apa.  Tapi dengan cepat otaknya bekerja, kalau dia katakan dia sendiri tidak melihat apa-apa, berarti dia juga bukan keturunan ningrat atau darah biru, dan tidak pantas jadi raja.  Demikian juga dengan para pangeran, khuatir dituduh bukan ningrat, maka mereka semua pura-pura melihat wajah mereka terlukis di dinding itu, dan merekapun bersalam-salaman.  Semua memuji-muji kegagahan masing-masing didalam lukisan itu.  Cendakiawanpun pulang ke kamarnya dengan senyum puas. Pesanan telah dipenuhi dan dipertanggungjawabkan. LPJ diterima.

                     Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, Cendakiawan berpamit kepada Raja untuk meneruskan perjalananya.  Rajapun mempersilahkan dia cepat-cepat menyingkir sebelum semua tahu rahasia mereka berdua.

                     Sekian untuk direnungkan.

                      

Oleh: Sony | Desember 19, 2008

Cermin Kehidupan

BEHIND A BIG FORTUNE IS A CRIME

 

Anda seorang penggemar Al Pacino ? Atau Frank Sinatra ? (Nampak banget jadulnya ya!!!). Jika iya, dan anda juga penggemar film  The God Father, maka anda mungkin pernah melihat tulisan ini di  salah satu dinding kantornya Don Corleone, itu tu, yang jadi boss nya mafia di Amerika masa dulu. Behind the Big Fortune is a Crime.  Dan kayaknya kata-kata ini mengandung kebenaran yang nyata. Jadi, jika anda ditawarkan bisnis atau obyekan yang untungnya spektakuleeeer, berhati-hatilah, besar kemungkinan dibaliknya itu ada kejahatan.  Atau jika anda ditawarkan pekerjaan yang sangat ringan, tidak perlu keterampilan atau latar belakang pendidikan khusus, tapi gajinya besaaaaar, cermatilah… barangkali pekerjaan itu adalah pekerjaan melawan hukum.  Atau anda di sekolah dapat bermalas-malasan, nggak ngerti apa-apa, tapi nilai rapportnya sembilan dan sepuluh semuaaaanya, barangkali orang tua anda menyogok guru-guru (dan celakanya mungkin ada pula guru yang mau disogok) atau setidaknya orang-tua anda pemilik yayasan pendidikan itu.  Sekali lagi, behind a big fortune is acrime. Berjualan kangkung atau daun ubi, seikat paling untungnya lima ratus rupiah, tapi kalau berjualan daun ganja satu ikat bisa lima juta rupiah.  Sayang, berjualan daun ganja adalah perbuatan melawan hukum dan merugikan seluruh komponen bangsa.  Besar memang untungnya, tapi itu tadi, dia adalah perbuatan kriminal. (Cuma ada yang nyeletuk, yang haram aja tinggal sedikit, konon pula yang halal).

Mari kita berkaca dengan kehidupan sehari-hari.  Tatkala ada yang menjanjikan kita keberuntungan yang menggiurkan, maka mata kita menjadi gelaaaap.  Makanya banyak orang tertipu dengan bujukan dukun palsu yang mengaku bisa menggandakan uang.  Sebenarnya akal sehat kita sudah membisikkan, kalau memang dia bisa menggandakan uang kenapa bukan uangnya, uang saudara-saudaranya saja yang digandakannya.  Tentulah dia sudah berhenti jadi dukun dan sudah berleha-leha ke Hawaai, ke Venezia, atau paling tidak ke Jimbaran Bali, berjemur-jemur dipantai dengan kacamata hitamnya. Tapi  akal sehat itu kadang-kadang ditutupi oleh ambisi jadi orang kaya, dan kesehatan akal kitapun rusak atau minggat sehingga kita kehilangan akal, dan akhirnya uang yang nggak seberapa itupun digondol dukun.  Di pengadilan sang dukun akan berdalih bahwa dia tidak jahat-jahat amat, karena dia hanya menipu orang serakah. Kalau mereka tidak serakah, pastilah mereka tidak tertipu, kata sang dukun palsu.

Di sekitar kami di dataran Pantai Timur Sumatera, konkritnya di Tanah Deli dan Tanah Langkat, banyak juga orang-orang yang terperdaya karena iming-iming janji gombal bergambar untung besar itu.  Bahwa banyak orang mau mengeluarkan uang untuk menjadi anggota penggarap tanah perkebunan (HGU) dengan  janji bahwa dia dekat dengan orang dalam (entah dalam yang mana maksudnya), harga tanah murah saja, satu juta satu patok,  nanti kalau perjuangan sudah berhasil, tanah pasti dapat surat sertipikat.  Maka para penggarap yang lapar tanahpun menjual anting-anting istrinya supaya masuk daftar anggota. Maka si calo pun membuat stempel organisasi, dan menyurati seluruh instansi terkait mulai dari lurah sampai Sekjen PBB, termasuk Komisi  Human Right se jagad raya.  Kalau ada diantara surat itu yang dibalas, naaaaah itu digunakan lagi sebagai senjata baru.  Perjuangan kita hampir berhasil, mari kumpulkan uang lagi, supaya aku berangkat ke Jakarta (bila perlu ke New York), memperjuangkan misi kita ini. Kumpuuuuul lagi duit dari para petani lapar tanah ini. Bila perlu dia pasang badan, teriak-teriak memaki-maki para pejabat yang berwenang baik langsung melalui unjuk rasa maupun melalui mass-media sebagai pertanggung-jawabannya kepada anggota yang telah membayarnya. Nah, demikianlah terus menerus, presidenpun ganti beberapa kali, gubernur pun ganti beberapa kali, menteri pun ganti beberapa kali, perjuangan tetap perjuangan.  Lama-lama sang pejuangpun menghilangkan diri, karena sudah dicurigai anggotanya.  Atau sebaliknya, rakyat mencabut kuasanya.  Tapi terlihat jelas mau untung jadi buntung,  terlalu berharap malah tertiarap.  Semua gara-gara tergoda untung besaaaaar.

Tahun delapanpuluhan, ketika Terminal Bus di Yogyakarta masih di Jl Brigjen Katamso yang dulu dikenal dengan istilah Standplaat, aku memperhatikan banyak tukang becak  mangkal di Pojok Beteng Wetan. Nah, kalau datang Bus dari arah  Jl Kol Sugiono, pas dipersimpangan  atau pojok beteng itu, pasti bus melambat, dan para tukang becak itu berebut naik keatas bus menawarkan becaknya. Becak mas, becak mbak, becak bu…becak..becak..becak.  Dari sepuluh tukang becak yang naik, satu dua orang dapat penumpang.  Tapi ada juga yang apesss terus, sampai setengah hari nggak dapat penumpang.  Padahal, kalau didayungnya becaknya ngalor-ngidul, mungkin dia sudah dapat lima atau enam penumpang.  Apa yang menyebabkan mereka betah mencegat bus itu ?  karena kalau dapat penumpang, pasti ongkosnya mahal.  Karena bawa koper atau paling tidak tas guede, dan pasti datang dari jauh atau barangkali dari Jakarta, atau Bandung.  Tapi itu tadi, mengharap-harap ongkos besar, seharian malah nggak dapat penumpang.  Orang Medan bilang, mencari rejeki harimau, sekali dapat bisa buat jatah seminggu.  Tapi keseringan nggak dapat.

Oleh sebab itu, didalam hidup ini kita harus mencoba memperkecil fikiran-fikiran untuk mendapat kemujuran saja, sebaiknya  arahkanlah fikiran kita kepada peluang-peluang yang memberikan hasil yang wajar tapi berkesinambungan.  Biarlah yang menanam yang memanen. Siapa yang memasang bubu, biarlah dia yang memungut ikannya. Siapa  Janganlah terus memutar otak kotor kita untuk memanen tanaman orang lain.

 

 

Oleh: Sony | Desember 18, 2008

Cerita Warung Kopi

MENCARI KEPASTIAN DAN KEADILAN

Kelahiran anakku yang pertama, ibundaku datang menjenguk dari Medan ke Padang. Hal aneh yang pertama dilakukan ibu, yang membuatku tersenyum adalah, bahwa dia sangat khawatir dengan persediaan beras di gudang hanya 5 kg. Bagaimana bisa kamu tidur nyenyak kalau berasmu tinggal segantang, katanya. Begitulah rasa khawatir orang jaman dulu (yang pernah mengalami getirnya hidup pada jaman penjajahan Jepang), sehingga mereka sebagai petani akan berupaya menyimpan padi berlumbung-lumbung (takut mati kelaparan alias takut dengan ketidak pastian dalam kehidupan).
Rupanya kekhawatiran semacam itu menghantui semua lapisan masyarakat kita sehingga semua juga berupaya mengumpulkan perbekalan sebanyak-banyaknya. Mengapa demikian, karena pengalaman yang mengajarkan.
Tatkala saudara nenekku menyekolahkan seorang cucunya (terpaksa dia yang menyekolahkan karena ayah anak itu tidak sanggup membelanjai anaknya) di fakultas Kedokteran di salah satu Universitas Negeri, dibutuhkan uang ratusan juta sampai wisuda sarjana. Kemudian Ko-ass sampai dilantik jadi dokter, dibutuhkan lagi uang ratusan juta. Setelah itu, konon kabarnya ketika dia PTT di pedalaman juga butuh uang puluhan juta. Supaya tidak teraniaya, si dokter musda minta kepada neneknya untuk menjual rumah supaya dibelikan mobil. Karena katanya malu menjadi dokter tanpa mobil. Sudah itu untuk bisa menjadi PNS dan ditempatkan ditempat yang dia sukai, butuh biaya yang dirahasiakan jumlahnya. Untunglah neneknya mempunyai ruko tiga pintu, maka dijuallah dua pintu. Itu baru untuk satu cucu. Bagaimana dengan cucu lainnya ? Se4mua bilang Tidak Adiiiil, padahal satu cucu saja si nenek sudah ngosngosan.
Maka jika kamu jumpa dengan nenek itu, nasihat pertamanya pastilah : rajin mengumpulkan uang untuk anak cucumu.
Tentang ketidak pastian ini, rupanya menghantui orang yang mencari keadilan. Setiap kali aku mendengar kisah tentang orang yang mencari keadilan, selalu saja kedengarannya subyektif alias mencari keadilan menurut versi dia. Ketika seekor kodok kecil menceritakan ketidak adilan kepada kodok besar, maka dia dengan bersemangat mengutarakan keadilan versi dia. Bahwa dunia ini diciptakan penuh dengan ketidak-adilan. Mengapa hidup di rawa sangat tidak aman, bagaimana sang ular dengan enaknya memangsa kaum mereka, dan mereka tidak bisa membalas. Kadang-kadang kalau kemarau tiba, bagaimana sengsaranya hidup dirawa yang mengering. Huhhhhh sungguh-sungguh Tuhan tidak adil.
Tapi apa kata sang kodok besar ? Kamu jangan begitu kodok kecil, bukankah kamu sudah enak-enakan makan setiap hari di rawa ini. Nyamuk sudah tersedia begitu banyak, tinggal haaaap….semua menjadi beres. Lagi kamu harus ingat, bahwa ketika kamu dimangsa ular, itu sudah takdirmu, karena kodok sebagai makanan ular sudah kodratnya. Kalau tidak sudi jadi makanan ular, jangan jadi kodok, atau setidaknya menjauhlah kamu dari para ular itu.
Bahasa kodok tidak dimengerti oleh ular, maka dia tidak pernah tahu bahwa kodok sangat dendam dengan kaumnya, sebagaimana dia juga sangat dendam dengan burung-burung paruh dan kuku tajam seperti elang dan rajawali, yang selalu memangsa mereka. Dan ular-ular inipun tidak menyadari bahwa habitat burung pemangsa inipun sudah mulai terancam karena rantai makanan mereka juga terancam punah. Kalau ular sampai punah, maka dunia tidak adil dong bagi si burung rajawali, karena mereka kehilangan sumber makanan. Disitu ada ketidak pastian masa depan.
Cerita lain, ketika satu regu anak pramuka mengangkat beberapa buah batu untuk dijadikan pemberat tenda kemping mereka. Si kurus bilang supaya adil dia mengangkat batu kecil saja, biar sigendut mengangkat batu besar sesuai proporsi berat badan, dan si gendut protes, karena dia bilang badannya yang berat itu saja sudah beban bagi dia. Tapi ketika makan malam, si gendut minta porsi lebih besar karena tubuh dia membutuhkan energi lebih besar. Yang lain bilang tidak adil. Mestinya pembagian merata saja, karena sama-sama punya mulut satu. Kecuali kalau si gendut punya mulut dua. Inilah keadilan matematika.
Ada lagi keadilan versi komunis. Semua pekerja dengan jenis pekerjaan yang sama diberi penghasilan sama. Sama-sama petani, gajinya sama. Sama-sama supir truk gajinya sama.
Di negeri Demokrasi kita ini juga ada keadilan dengan versi tersendiri khususnya bagi Pegawai Negeri Sipil, ada yang disebut PGPS (Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil), dalam golongan/pangkat dan masa kerja yang sama maka besar gajinya sama. Maka kata teman-teman PGPS artinya Pinter Goblog Pendapatan Sama. Yang kemudian dirasakan tidak adil adalah ketika pendapatan itu tidak bisa melepaskan kaumnya dari kebodohan. Ada seorang teman membawa formulir Ujian Masuk perguruan tinggi melalui Jalur Khusus sambil menenteng kalkulator. Lalu dibujuknya pegawai lainnya untuk berkumpul mendengarkan keluh kesahnya. Kemudian dia berpidato : Sodhara-sodhara sebangsa dan sependeritaan (kata yang lain dalam hati..lho siapa yang mau setia menderita ama kamu?). Sungguh hidup ini semakin tidak adil. Lihatlah, ketika kita masih remaja, orang tua kita tidak sanggup menyekolahkan kita sampai perguruan tinggi, karena tidak cukup uang, walaupun uang kuliah sebenarnya kecil jumlahnya. Sekarang kita sudah pada sarjana dengan upaya kita sendiri (padahal sebahagian dari mereka melalui tugas belajar yang dibiayai pemerintah melalui kantornya). Tapi nampaknya anak para sarjana yang PNS ini akan sulit menjadi sarjana. (Apa pasal?). Coba lihat, ITB pasang tarif lima puluh juta, UI pasang tarif enam puluh juta, UGM pasang tarif empat puluh juta. Nah, kalau gaji kita cuma dua juta, berapa bulan kita tidak makan ? Pasti deh anak kita tidak kuliah di Universitas top itu. Jadilah mereka kuliah di perguruan tinggi pinggiran. (Kata yang lain, udaaaah buang aja kalkulator itu, nggak dihitung juga udah ketahuan). Ibarat bertinju nih, kita disuruh bertarung dengan tangan terikat, sementara musuh kita (perguruan tinggi/BHP/BHMN) dibiarkan kedua tangannya bebas, ya satu ronde saja kita sudah konock-out Ini baru satu sisi suram dari kehidupan kita.
Ketika seorang kenalanku yang memiliki kebun kelapa sawit seluas tiga hektar memberanikan diri membeli mobil Kijang secara kredit sebesar dua ratus empat puluh juta dengan angsuran empat juta sebulan, tiba-tiba dia terjerembab karena harga TBS yang tadinya Rp. 1.500,-/kg turun menjadi Rp. 300,-/kg. Padahal kredit masih dua puluh bulan lagi. Kalau harga TBS tidak pulih setidaknya Rp.1000,-/kg, maka mobil kebanggannya itu akan ditarik kembali oleh Auto 2000.
Ketika keponakanku memprediksi panen jeruknya yang 1500 batang dapat mencapai 60 ton musim panen Desember ini, terhenyak karena pupuk untuk pembesaran buah pada bulan Oktober kemarin hilang di pasaran, sehingga buahnya yang biasanya lima sampai enam buah satu kilogram, terpaksa mengerdil menjadi duabelas biji per kilogram alias kelas unyil dan tidak laku dijual.
Padahal, alam mengajarkan bahwa ulat bulu (yang gatal dan menjijikkan) itu sudah pasti akan menjadi kupu-kupu yang cantik, mengapa hidup yang dirangkai dengan bermandikan peluh ini bisa juga berubah menjadi hari-hari yang buruk ?
Ketidak-pastian hari esok, kondisi itu rupanya yang membuat orang terbujuk untuk berlomba-lomba menambah perbekalan hidupnya dan anak cucunya.
Dambaan sejatinya para PNS supaya hidup tenteram adalah:
1. Supaya kesehatan para PNS dan keluarganya dijamin secara serius. Artinya apapun penyakitnya supaya diobati dengan standard yang memadai. Jika harus diobati ke Amerika, ya diobatilah ke sana.
2. Supaya pendidikan anak-anak PNS dijamin penuh. Kalu memang anak tersebut mampu kuliah ke erkeley, atau ke Cambridge, atau Sorbonne, ya disekolahkan kesana.
3. Supaya anak-anak PNS ini diprioritaskan untuk diangkat menjadi PNS sesuai dengan kemampuan dan tingkat pendidikannya.

Dengan tiga syarat ini, mudah-mudahan tidak ada yang menjerit-jerit mencari keadilan Tuhan.

Oleh: Sony | Desember 3, 2008

Masa Kecilku di Desa

MENGENANG BIBIKU YANG PELIT

 

Tulisan ini sebenarnya pernah kuposting awal pembuatan blog ini.  Tapi karena salah sunting, tulisannya hilang terhapus (maklum masih belajar). Karena aku sangat sayang sama bibiku ini, maka kuupayakan mempostingkannya ulang.

 

           Di sebuah desa di lereng pegunungan Bukit Barisan, aku mempunyai seorang bibi, atau tegasnya saudara sepupu ibu saya.  Bibi ini menjadi satu kenangan bagiku karena ada ciri istimewanya, yakni sangat sangat peliiiiiiit sekali.  Dan kepelitannyan itulah yang menjadi sumber inspirasi ceritaku ini.

            Ayah bibiku ini adalah saudara kandung kakekku, dan aku panggil dia kakek tua. Orangnya cukup berada dibandingkan orang lain di desa kami.  Kakek tua hanya memiliki seorang anak, yakni bibiku.  Sementara bibiku sendiri tidak punya anak.  Dan ditinjau dari usianya yang sudah enampuluh lima tahun, tidak lagi memungkinkan untuk melahirkan seorang anak.  Harta yang diwariskan oleh kakek tuaku kepada bibi adalah sebuah rumah panggung besar, dimana sejak zaman Belanda rumah ini dijadikan sebagai klinik seminggu sekali.  Lebih kurang seratus ekor sapi dan  padang penggembalaan seluas tujuh hektar. Ada sawah dan kolam ikan di tiga lokasi  total luasnya delapan hektar.  Ada juga peternakan ayam kampung dan yang seru adalah kebun pisang dan jeruk bali, itu lho jeruk yang buahnya sebesar kepala kita.

          Setiap musim liburan, aku selalu mengunjungi bibi ke desanya.  Menghabiskan masa libur di sana memang sangat mengasyikkan, karena banyak kegiatan yang bias kulakukan.  Pagi pagi, sebelum matahari terbit, melepaskan ayam dari kandang dan memberi mereka makan jagung.  Sesudah itu menemani bibi mengarak lembu (sapi)  dari kandang ke penggembalaan.  Enaknya, bisa sambil menunggang kuda, karena bibi juga memiliki dua ekor kuda.  Siang menabur makanan ikan di kolam.  Makanannya tepung jagung campur dedak (masa itu belum ada pelet), dan  irisan pelepah keladi.  Mulut ikan itu pada monyoooong semua kalau kita sudah datang.  Musim liburan adalah bulan Desember dan bulan Juni, dimana pada kedua bulan tersebut adalah musim buah jeruk.  Naaaaah disinilah serunya.  Karena bibi sangat pelit, maka kalau buah jeruk diambil di pokoknya, bibi pasti melarang.  Maka biasanya aku dengan bapak tua (suami bibi)  sore sore menjolok buah jeruk yang sudah masak, kemudian meletakkannya berserakan dibawah pohon seakan-akan jatuh sendiri.  Nah, besok subuh bibi akan melihat buah berserakan ketika mau melepas ayam.  Maka dia akan berteriak memanggilku, untuk membawa bakul karena buah jeruk sudah banyak yang berjatuhan.  Maka puaslah hari ini makan jeruk, tanpa harus dipelototi oleh bibi karena kepelitannya.  Demikian juga dengan telur ayam, diambil dari sangkak (tempatnya bertelur, gulingkan di dasar kandang.  Bibi berkesimpulan telur yang sudah terguling tidak mungkin lagi menetas, jadi lebih baik digoreng sebelum membusuk.    Yang lebih hebat lagi, di peternakan ayam bibiku, ada jerat musang.  Karena musang memang sering mencuri ayam bibiku.  Kalau kepingin makan ayam, oleh bapa tua ditangkap ayam jantan yang bagus, lalu  letakkan pada jerat musang, kakinya terjepit dan terluka.  Bibi akan berkesimpulan ayam ini tidak lagi sehat, harus disembelih untuk digulai.   Hmmmmm makan enak hari ini.   Tapi untuk jerat musang hanya boleh satu kali, karena kalau sering, bisa bisa bibi curiga. Kalau untuk  buah jeruk jatuh, boleh berkali-kali.

 

          Satu kali, bibi mengundang kami datang ke kampung karena beliau kurang sehat, kena flu.  Lalu oleh ibu ditanya, makanan apa yang dia suka ?  Apakah ayam dipotong, atau ambil ikan di kolam.  Mungkin karena rasa rugi kalau ayam, maka dia putuskan untuk mengambil ikan di kolam.  Kamipun berangkatlah bertiga membawa tangguk.  Tanggukan pertama dapat ikan kira kira  satu kilo lebih, kata bibi jangan yang itu, kalau besar kurang enak.  Mungkin dikurangi besarnya dikit pikir ibu, ditangguknya yang lebih kecil, kira kira delapan ons.  Bibi menggeleng, dan ikanpun dilepas.  Maka ibu menangguk ikan yang masih sekitar tiga ons, dan dimasukkan kedalam tempayan. Ibu menangguk lagi hingga semua empat ekor, maksud ibu untukku, untuk ibu, untuk bapaktua dan untuk bibik.  Tapi bibik menyusuh lepaskan yang tiga ekor, cukup satu ekor saja untuk berempat. Ibu menatapnya terperangah.  Ibu heran, jauh jauh dari rumah kok yang diambil hanya ikan sekecil itu. Mana cukup untuk lauk berempat.   Tapi bibi tersenyum.  Katanya nanti kita tambahkan daun singkong yang banyak, biar cukup.  Dasar pelit, untuk perutnya saja, masih merasa rugi.

              Sesuai dengan iklimnya, kampung kami bukanlah daerah habitat durian.  Durian adalah buah-buahan yang mewah bagi kami.  Sekali waktu, tatkala musim durian, banyak durian didatangkan pedagang dari kota dataran rendah ke pegunungan, ke kota didekat desa kami.  Bibi menyuruhku  membeli durian untuk kami makan di rumahnya.  Waktu makan durian, kata bibi bijinya jangan dibuang, nanti kita rebus, rasanya enak seperti ubi.  Kulitnya juga jangan dibuang ketempat sampah, biar dikeringkan. Karena kulit durian dapat dibakar di kandang lembu sebagai pengusir nyamuk.  Semua berguna dimata bibi.  Dan dengan caranya ini, harta kekayaan bibi semakin bertambah.

          Ketika aku baru mulai kuliah di Yogyakarta, bapa tua (suami bibi),  meninggal karena sakit tua, dan sejak itu kondisi bibi pun semakin menurun.  Tahun keempat aku di Yogyakarta, aku mendapat kabar dari ibu bahwa bibi sakit keras.  Dan ketika beliau dipanggil Tuhan, aku tidak bisa pulang karena berketepatan musim ujian semester.  Kuingat semua yang telah kulakukan didalam mengimbangi kepelitan bibi, dan aku hanya dapat berdoa kiranya perbuatanku terhadap Bibi (yang pelit) diampuni Tuhan, serta mendoakan keselamatan arwah beliau. 

        Setahun setelah itu, aku berkesempatan pulang ke desa, aku tanya ibu mengenai harta benda almarhum bibi saya.  Lembu dibagikan kepada beberapa keponakan  yang kerjanya bertani.  Ada  yang memeliharanya dengan sungguh-sungguh, tapi ada juga yang malah diam-diam menjualnya.  Rumah dan sawah diserahkan kepada salah satu saudara sepupunya yang laki-laki.  Padang penggembalaan telah ditanami kayu jati putih oleh keluarga besar, sebagai lambang kesatuan keluarga.  Ibuku, sebagai saudara wanitanya terdekat mendapat satu periuk uang perak (Gulden) yang dikumpulkan kakek tua pada masa penjajahan.  Uang perak itu sudah dijual ibu kepada pedagang emas, dan telah digunakannya untuk merehab rumah kami.

        Itulah bibiku,  bersusah payah dia memelihara harta warisan ayahnya, dan menambahnya menjadi berlipat, kemudian dimasa tuanya, dibagi bagikan kepada banyak orang tanpa peersetujuannya, karena dia tidak membuat surat wasiat. Yang kusayangkan adalah, mengapa ketika bibi meninggal, aku tidak berada di kampung, sehingga aku tidak kebagian apa-apa. Itulah Bibiku.

Oleh: Sony | November 24, 2008

Kenangan Masa Kecil

MIMPI ANAK DESA

 

Pagi pagi benar, sebelum matahari terbit di celah bukit sebelah timur, kami sudah berangkat dari rumah menuju ke sawah, untuk menghalau burung.   Padi sudah hampir menguning.  Pertanda sebentar lagi masa panen.  Masa panen adalah masa yang paling dinantikan, karena disamping keramaian di sawah, makananpun enak-enak.  Tapi itu belum sekarang. Nanti kalau sudah tiba waktunya.

Subuh-subuh, air embun berkumpul dilembar lembar dedaunan. Ketika tersentuh telapak kaki, tersentuh lutut, bahkan tersentuh oleh lengan, basah dan dingin.  Merinding bulu romaku, menahan dingin.

Sampai di sawah, yang pertama kulakukan adalah memasang api.  Minyak tanah yang kubawa dengan botol limun, tinggal sedikit.  Kukupas tiang  dangau yang terbuat dari bambu agar menjadi serpih-serpih tipis, agar mudah terbakar.  Kayu kayu yang terletak di tanah, semua lembab.  Bahkan ijuk yang ada di sudut dangau juga basah.  Perlahan tapi pasti, api semakin menyala dan mulai membakar ranting ranting yang kutumpuk diatas tungku.  Api membesar, hatiku senang.  Gerombolan burung pipit mulai berdatangan.  Segara kutarik tali mengguncang kotok-kotok dan berbunyi tok tok tok, sambil aku berteriak hoooooooi….hoooooi, burung pun menikung seperti pesawat tempur merubah arah ke petak sawah orang lain.  Kujerangkan air diatas tungku dengan menggunakan ceret seng yang dibelikan ibu di pasar.  Ubi kayu yang dibaya ibu kemarin dari ladang, kukupas dan kubakar dipinggir tungku.  Ada gula merah didalam sumpit pandan dan bubuk the cap 37 kesukaan kami sekeluarga.  Makan ubi bakar dengan air teh dan gula aren, adalah satu kenikmatan di pagi hari.  Kami makan ubi sebagai kesenangan, bukan karena kurang beras. Padi kami berlumbung-lumbung di desa.  Tapi ubi di saat subuh juga nikmat, apalagi ada gosong-gosongnya.  Pahit-pahit manis, sedap rasanya.

Ketika matahari telah naik diatas bukit, aku pergi mandi di pancuran, dan pulang kerumah.   Setelah mengganti baju, kusambar buku buku, dan berangkat kesekolah, bersama – sama dengan anak-anak yang lain.  Kami mempunyai tugas yang berbeda. Ada juga yang kerjanya menghalau burung seperti aku, tapi ada juga teman yang memanfaatkan waktu subuh untuk mengambil rumput untuk makanan ternaknya.  Pernah sekali waktu teman saya terlambat masuk kelas.  Ketika ditanya guru, dia memberi alasan karena menyabit rumput untuk ternaknya.  Pak Guru marah dan menyuruh pulang dan teruslah menyabit rumput.  Sejak itu kami tidak pernah lagi  berani menjadikan hal itu sebagai alasan, kalau kami terlambat masuk sekolah.

Di sekolah, tidak semua murid cukup cerdas.  Beberapa diantara kami dapat dikatakan cukup bodoh, sehingga kadang-kadang pak guru memukul betis kami kalau kami tidak dapat memberikan jawaban yang benar atas pelajaran yang diajarkan.  Sebetulnya kena pukul di betis atau kena cubit di perut itu, cukup memalukan.  Tapi bagaimana kami harus mengatasinya, sementara waktu kami untuk belajar hanya saat berada didalam ruang kelas.    Sepulang dari sekolah, sudah banyak tugas-tugas menunggu kami.  Teman-teman yang mempunyai adik, harus menjaga adik-adiknya, sementara ayah dan ibunya bekerja di ladang atau di sawah. Ada juga teman saya yang sepulang sekolah membantu mangambilkan air dari pancuran untuk kedai kopi.  Dia mendapat upah yang dikumpulkan untuk membeli baju kalau nanti kenaikan kelas, supaya bisa berbaju baru.  Ada juga yang harus menggembalakan sapi dan kerbaunya sampai sore, dan membawanya pulang ke desa.  Aku sendiri tidak terlalu banyak yang harus kukerjakan, karena aku tidak mempunyai adik.  Aku adalah anak bungsu.  Sepulang sekolah, aku biasanya menyusul ibu ke ladang atau ke sawah.  Aku membantu ibu sekehendakku.  Ibu berfikir bahwa membuatku lelah bekerja dapat membuatku menjadi bodoh.  Prinsip beliau, yang penting prestasi belajarku harus bagus, supaya dapat melanjutkan sekolah lebih tinggi.  Kawan kawan selalu mengatakan bahwa aku lebih pintar dari mereka, karena waktuku sehari-hari hanya belajar dan membaca buku.  Sedangkan mereka dibebani pekerjaan yang cukup berat dari orang tua.   Pendapat itu tidak sepenuhnya benar, karena ada juga sahabatku yang mempunyai tugas berat dari orang tuanya, tetapi disekolah dia selalu mendapat nilai yang bagus.

 

Musim panen sudah tiba.   Untuk persiapan panen, kami sudah membuat tikar alas tumpukan sabitan padi yang nantinya setelah semua disabit dikumpulkan disitu.  Keesokan harinya, padi itu diirik, untuk melepaskan bulir padi dari jeraminya.   Selesai diirik, dianginkan untuk memisahkan padi yang berisi dengan padi yang hampa.  Untuk itu dibutuhkan angin yang kencang.  Untuk memancing angin, kami biasanya menyalakan api. Sambil bersiul dan berteriak memanggil angin dengan bibir monyong berbunyi puuuuuuuur, puuuuur.  Aku sendiri tidak yakin ada manfaatnya teriakan itu, tapi selalu dilakukan tatkala menganginkan padi yang baru diirik.  Setelah dipisahkan padi yang bernas dengan yang hampa, maka padi bernas dijemur sampai kering di panas matahari.  Setelah kering dibawa ke desa dengan pedati atau kereta lembu, dimasukkan kedalam lumbung.  Setiap kali beras di rumah sudah hampir habis, maka padi dari lumbung dikeluarkan barang sekarung dua, dapat ditumbuk sendiri dengan lesung atau dibawa ke mesin gilingan padi.  Beras hasil tumbukan lesung jauh lebih bermutu dari hasil mesin penggiling padi, karena kandungan vitamin B- nya jauh lebih banyak.

Ketika masa panen, kita biasanya potong ayam, famili-famili kita ajak bergotong royong ke sawah kita.  Ada yang menyabit padi, ada yang mengantar ketempat pengirikan, ada yang mengirik, ada yang memisah jerami dengan padi, terakhir adalah menganginkan.  Anak anak biasanya berlari berkejar kejaran sambil bermain layangan. Sore hari setiap keluarga yang membantu dibekali satu sumpit padi, beratnya kira kira sepuluh kilogram.

Sebagai upahku selama masa menjaga padi dan menghalau burung, akan dibelikan pakaian dan tas sekolah yang baru.  Pernah sekali aku minta dibelikan sepeda sama ibu, tapi katanya padi kami tidak mencukupi kalau untuk membeli sepeda.  Cita citaku membeli sepeda barupun kandas.  Untuk sementara aku tetap memakai sepeda besar milik ayah yang ditinggal di kampung. 

Ketika aku naik ke kelas lima, ayah menjemputku ke kampong dan dibawa ke kota. O ya aku lupa menceritakan bahwa sebenarnya  aku lahir di kota, ayahku seorang pengelola Pompa bensin, istilah sekarang adalah menejer.  Ketika itu ibu saya mempunyai kios di pasar untuk berjualan pisang.  Tapi ketika aku memasuki kelas dua SD, ibuku menjual kios pisangnya, untuk menebus sawah kakek yang pada masa Penjajahan Jepang digadaikan kepada orang lain.  Karena aku lebih suka bersama ibu daripada bersama ayah, maka aku ikut ibu ke kampung/desa, sementara ayah dengan tiga orang kakakku yang semuanya perempuan,  saat itu  yang paling tua bersekolah di SGA, yang nomor dua di SPMA dan yang paling kecil SMP kelas tiga  tetap tinggal di kota.  Selisih umurku dengan kakakku yang kecil adalah delapan tahun. Tiga tahun aku hidup di desa bersama ibu, aku dijemput ayah, sementara ibu bertahan di desa mengurus ladang dan sawah warisan kakek kami. Jarak dari kota kabupaten dengan desa kami empat belas kilometer, ditempuh ayah dengan sepeda selama empat puluh menit.  Sepuluh kilometer jalannya jalan aspal  jalan propinsi. Empat kilometer jalan kampung. Kendaraan umum hanya ada seminggu sekali, yakni pada hari Senin, ketika di kota kabupaten sebagai hari pasar atau hari pekan.

Sejak aku bersekolah di kota, setiap  hari Sabtu aku ke desa bersama ayah, dengan bersepeda.  Di kampung  kami memancing dan mencari ikan di kolam.  Ibu kadang kadang menyuruh kami membantu pekerjaannya di sawah atau di ladang.  Tetapi ayah saya tidak terampil mencangkul, sehingga ibu kadang kadang jengkel melihatnya dan menyuruh kami pergi saja ke sungai memancing.  Membuat beliau ikut ikutan malas katanya. 

Sebenarnya kami tak pernah menghasilkan banyak ikan, tapi ayah tak pernah bosan.  Ikannya juga kecil kecil.  Ikan hasil pancingan itu dimasak ibu dengan bumbu pedas, kadang-kadang dengan terong dan asam asaman.  Rasanya asin dan pedas. Memasaknya menggunakan periuk tanah, supaya aromanya lebih gurih dan tahan lama, tidak basi. Ikan yang telah dimasak itu kami bawa ke kota untuk lauk kami dengan kakak. 

Ketika aku memasuki kelas dua SMP, kelasku mendapat  anak murid baru pindahan dari kota lain.  Perempuan yang cantik menurutku, dan yang membuatku penasaran adalah otaknya yang sangat cerdas.  Dia ikut ayahnya yang pindah tugas dari kota lain.  Ayahnya seorang jaksa, seorang sarjana hukum.  Ayah saya menyebutnya mesteer.  Dia sudah menjadi langganan di pompa bensin ayah saya dengan sedan Fiat 131 yang menurutku sangat hebat, karena sebenarnya mobil dinas di kota kami belum banyak, masih puluhan saja. Nama gadis itu  Feriana boru Sinaga, dipanggil teman teman Eri.  Aku sendiri memanggilnya Ana, dan dia menyikapinya dengan biasa biasa saja.  Model rambutnya dipotong pendek, dan anting antingnya menggantung.  Masih jarang di kota ku seperti itu.  Dia bersepeda jengki yang sangat bagus dan berkilap.  Kecerdasannya membuat aku mulai tersisihkan di kelas.  Hanya dibidang seni suara, dia kalah denganku, karena untuk yang satu ini, seluruh kota juga mengetahui siapa aku.  Kebetulan ayahku pemimpin senuah grup kesenian tradisional, sehingga aku banyak mengenal  pemusik tradisi.  Yang membuat aku sangat kagum padanya adalah ketika kulihat dia menyetir mobil sedan ayahnya ke pompa minyak, dan kebetulan aku sedang ada kepentingan menemui ayah disana.  Walaupun pompa bensin itu bukan milik kami, tetapi aku cukup bangga menjadi anak seorang pengelola pompa bensin.  Kapan ya, aku bisa menyetir mobil seperti dia, fikirku dalam hati.  Aku ingin belajar mengemudi mobil, supaya bisa menyaingi dia.  Sekali waktu Pak Simanjorang meninggalkan mobil tangki yang biasa mengangkut bensin dari Pangkalan Berandan ke kota kami, di rumah. Kunci kontak mobil itu  ditinggalkan juga di rumah, karena dia menjenguk saudaranya yang sakit di desa yang letaknya tidak jauh dari kota kami.  Aku ambil kunci kontaknya, kunaiki mobil tangki itu, mereknya Fargo, Made In  USA, kuhidupkan mesin, dan berhasil.  Kemudian kucoba masukkan gigi satu, mobil berkapasitas sepuluh ribu liter itu bergerak, tikungan pertama masuk jalan aspal, aku selamat.  Seratus meter kemudian, di simpang empat Gedung Nasional, aku berusaha belok lagi ke kiri.  Banyak teman-teman yang sedang bermain di Gedung Nasional, melihat saya membawa mobil tangki.  Rupanya aku terlalu cepat mengambil tikungan, ban belakang masuk ke parit besar dan ban depan sebelah kanan naik ke udara, mesinnya menjerit lalu mati.  Semua orang berkerumun.  Disudut simpang itu ada perusahaan pemborong atau kontraktor bangunan jalan bernama CV. Sagala & Son, yang memang kenal baik dengan keluarga kami.  Dibawanya mobil doser  dan mobil tangki itu ditarik.  Beberapa menit berselang ayahpun datang dari  pompa bensin.  Kejadian itu rupanya jadi ceritra di sekolah dan saya diolok olok kawan bercita cita jadi supir mobil tangki.  Padahal maksud hati ingin menyaingi gadis yang baru pindah ke kelas kami.

Akhir kelas dua, prestasiku benar benar gemilang dan aku mendapat predikat yang terbaik, dan dia menjadi peringkat kedua.  Waktu pulang dari sekolah, dia dijemput ayahnya, dan aku diajak ikut naik mobil sedan yang keren itu.  Harum dan sangat menyenangkan.  Ayahnya melihat raut kekagumanku, lalu katanya, jikalau aku dapat mempertahankan prestasiku, maka kelak akupun bias mendapatkan mobil seperti miliknya itu.  Malamnya aku bermimpi mendapat mobil semewah itu, dan Ana kuajak jalan jalan.  Tentu saja aku yang nyupir dan tidak masuk parit.  Tapi ternyata baru sebatas mimpi.

 

 

Oleh: Sony | November 17, 2008

Senandung Ibu Yang Renta

YANG PERGI DAN YANG TERINGGAL

 

Bulan Desember  di negeri kita ini diperingati sebagai hari Ibu.  Banyak karya-karya sastra dan musik dihasilkan dengan tema dasar penghormatan atas jasa-jasa ibu.  Bagi saya sendiri, ibu itu bermakna  yang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.  Ibundaku adalah seorang pejuang bagi kami sekeluarga.  Ibu benar-benar membanting tulang untuk kehidupan kami.  Ibu juga yang mengajarkan kehidupan bagi kami, termasuk didalam mempertahankan martabat dan harga diri dalam hidup.  Selain ibu kandung, aku memiliki enam orang ibu.  Semua kupanggil Nande (ibu dalam bahasa Karo). Dalam kehidupan masa kini, riwayat kehidupan kami memiliki tujuh orang ibu dan tujuh orang ayah mungkin agak ganjil.  Tapi itulah yang terjadi dalam keluarga kami.  Buyutku mempunyai tiga anak laki- laki, itulah tiga orang kakekku. Kemudian ketiga  kakek ini memiliki tujuh anak laki-laki pula, itulah  bapakku. Dari ketujuh mamak (Nande) aku memperolah  sembilan belas saudara laki-laki dan  dua puluh tiga saudara perempuan.

Menurut cerita bibi kami (para saudara perempuan ayah kami) ketujuh ayah kami itu sangat kompak.  Dan begitu kompaknya mereka sehingga sulit bagi mereka memisahkan kegiatan antara satu dengan yang lain.  Dan ternyata mereka cukup dikenal diberbagai daerah.   Hal itu dengan tidak sengaja  kuperoleh buktinya setelah mereka  meninggal dunia.   Satu ketika, aku dengan seorang teman mengadakan perjalanan dinas (supervisi) ke Kecamatan Senembah Tanjung Muda Hulu, Kabupaten Deli Serdang, yang letaknya kira-kira tujuh puluh lima kilometer dari Medan.  Nasib kurang beruntung,  mobil kami mengalami kerusakan (kempes ban) pada sebuah desa bernama Gunung Seribu. Sial kami bertambah, ketika kami mengganti dengan ban serap (reserve), ternyata ban cadangan ini juga tidak cukup angin alias kempot. Terpaksalah supir kami pergi membawa dua-dua ban kempes tersebut ke tukang tambal ban, yang  ternyata jaraknya hampir 15 km dari tempat kejadian.  Sambil menunggu supir kembali, kami berteduh pada sebuah rumah (bekas kedai sampah yang tidak berjualan lagi).  Tiba-tiba datang seorang kakek mendekati kami.  Dengan ramah dia bertanya, siapa yang kami cari.  Maka kami menjawab bahwa kami hanya beristirahat sambil menunggu ban datang dari kota kecamatan Gunung Meriah. Lalu dia bertanya apa margaku, dan kebetulan kami satu marga.  Lalu dia bertanya, dimana kampungku, dan kujawab juga. Pertanyaan selanjutnya apakah aku kenal dengan si anu ? Seseorang yang sudah meninggal dan selama ini menurut pendapatku adalah saudara perempuan kakekku.  Maka kukatakan itu adik kakekku. Berlanjut pertanyaan, apakah ayahmu bernama si anu ? Ya karena itu adalah nama salah satu dari ketujuh ayah yang kuceritakan diatas, maka kukatakan :ya. Lalu disebutnya satu nama  lagi, kujawab: ya. Tambah satu nama lagi, kujawab juga : ya.

Tiba tiba pinggangku dicubit teman, kemudian berbisik, katanya : Jangan kau permainkan bapak tua itu, nanti dia tersinggung. Mungkin karena sudah tiga nama disebut, kukatakan juga itu ayahku, maka temanku beranggapan aku bercanda, padahal serius.  Kemudian  datanglah seorang perempuan tua, dan kakek ini segera memanggil.  Rupanya perempuan itu adalah isterinya.  Katanya : kemarilah mak, ini cucu kita dari jauh datang ! Nenek itu mendekat dan melihat kami, serta kakek itupun menyebut nama-nama ayah ku.  Maka bertanyalah nenek itu: Lalu ayah kandungmu yang mana ???? Barulah kusebutkan nama ayah.  Habislah aku diciumi nenek itu dengan sirihnya berlepotan diwajahku. Anakku…anakku..anakku…katanya. Kulihat kakek itupun tersenyum, tapi airmatanya merebak.  Teman sejawatku itupun terbengong melihat kejadian ini.  Maka pasangan tua itu membujukku singgah kerumah, tapi aku menolak dengan halus, dan berjanji akan datang pada kesempatan lain. Tapi aku belum habis pikir, maka kutanyalah mereka, Siapa sebenarnya mereka.  Kakek itu menjelaskan bahwa nenek yang kukatakan adik kakekku itu adalah kakak kandungnya.  Dulu waktu masih kecil, diminta oleh kakekku kepada orang tua mereka untuk dijadikan adik dan dibesarkan di kampung. (Aku dan istriku masih sempat jumpa dengan nenek itu, sekali waktu aku dan istriku – waktu itu masih pacarku- berkunjung ke desa kakekku ketika kami masih kuliah di Pulau Jawa). Barulah kuketahui bahwa nenek itu bukan saudara kandung  kakekku. Dan ketika kukonfirmasi dengan ayahku (waktu istu satu-satunya yang masih hidup),  beliau memperingatkan, jangan sampai ada yang tahu masalah ini, karena kakek tidak pernah mengungkapkan bahwa nenek itu bukan saudara kandungnya.

Rupanya setiap kali kakekku membawa Kuda dari dataran Tinggi Karo untuk diperjual belikan di Tanah Deli,  jalur perjalanannya melalui Dolok Silau, Gunung Meriah, Sinembah Tanjung Muda Hulu dan Sinembah Tanjung Muda Hilir, kemudian  berhenti di Deli Tua, pusat budaya dan ekonomi masa itu.  Perjalanan bolak balik melalui daerah ini rupanya menghasilkan banyak sudara disepanjang jalan, salah satunya adalah di desa Gunung Seribu. Persaudaraan ini berkembang saling mengunjungi, dan jadilah mereka menjadi keluarga. Satu karya yang sulit untuk kutiru.

Tentang tujuh ibu, rupanya juga ada keterkaitan dengan wilayah ini.  Lima dari tujuh ibu ini sudah meninggal dan sekarang bertahan dua orang.  Kedua-duanya beru Tarigan. Satu dari ibu ini memang berasal dari daerah Gunung Meriah ini, yang disebut Tarigan Silangit.  Yang satu lagi dari  daerah Dolok Silau putri  Pangulu Nagori Sigerantung , yakni Beru Tarigan Tua. Tubuh mereka sudah renta.

Bersama Nande Tua di Kuburan Bapa Tua/Ladang

Bersama Nande Tua di Kuburan Bapa Tua/Ladang

Kalau aku berkunjung, mereka selalu bersenandung menyebut nama  Ibu Kandungku, dengan katak-kata kira-kira begini, saudaraku, adindaku, sahabatku, hari ini aku berjumpa dengan anak kita, sudah puaslah hidup di dunia ini, bujuklah suami-suami kita, kalian jemputlah aku menghadap Tuhan, mati pun aku sudah ikhlas.  Dan aku pun selalu mengatakan  lagu itu tak ingin kudengar… walau sudah renta mereka masih sangat kami butuhkan sebagai penasehat dan penengah ditengah keluarga. Nanti 22 Desember, hari bagi  sepasang ibuku yang masih tersisa.

 

Menjenguk Nande Tengah Dirumahnya/P. Siantar

Menjenguk Nande Tengah Dirumahnya/P. Siantar

 

Oleh: Sony | November 9, 2008

JEJAK LANGKAH & BAKTI

BERBAGI  RASA DAN SUKA CITA

Ada kebahagiaan yang mendalam yang kurasakan   ketika berbaur dalam kehidupan nyata ditengah tengah masyarakat  pedesaan.  Beberapa program pencerahan dan penguatan kepada masyarakat didalam meningkatkan mutu kehidupan mereka, serta menata hubungan interaksi dan keterkaitan yang serasi, sehingga keyakinan akan masa depan yang cerah dapat diperkokoh untuk menumbuhkan gairah dan semangat yang lebih tinggi lagi untuk berproduksi.

Semoga Sukses

Semoga Sukses

 

 

 

 Kemudian…..

 

Ada satu kejadian yang berkesan bagiku hari ini. 

Tadi siang aku bersama istri menghadiri sebuah Undangan Resepsi Pernikahan  di pinggiran kota Binjai, yakni  Kelurahan Tanah Seribu.  Pasangan pengantin baru ini  adalah anggota Grup Tari Sanggar Melati Suci, yang konon ketika  Bapak SBY datang berkunjung ke Sumatera Utara beberapa bulan lalu,  menjadi Penari Resmi Penyambutan Bapak Presiden di Parapat.  Maka  tidaklah heran kalau resepsi  ini dipenuhi dengan dunia tari-tarian.

Tari Karo kok Kostum Melayu

Tari Karo kok Kostum Melayu

 

Salah satu tari yang ditampilkan (yang menurut protokol khusus dipersembahkan kepadaku, orang Karo yang hadir dalam Pesta Orang

Melayu) )  Tari Kreasi  versi Etnis Karo dengan judul Ula Cidadap. Konon tari ini beberapa waktu lampau mereka tampilkan di Bali, bahkan menjadi juara pada Festival tari di Yogyakarta.

Ketika tarian itu ditampilkan, aku protes, karena pakaian (kostum) yang mereka kenakan bukan busana tradisi Karo.  Maka buru buru, sang Pengelola Sanggar menyuruh stafnya menjemput kostum (kain) ke Sanggar.  Tapi rupanya, kain yang dibawa, kurang satu.  Mestinya penari wanita memakai kain GATIP berwarna hitam. Tapi karena yang ada hanya dua, maka satu orang memakai BEKA BULUH yang warna merah yang seharusnya menjadi kain yang dipakai penari laki-laki.

Nah.. Ini Baru Pakaian Karo Tapi Yang Merah Ditengah itu Harusnya Hitam Juga.

Nah.. Ini Baru Pakaian Karo Tapi Yang Merah Ditengah itu Harusnya Hitam Juga.

 

Tapi upaya mereka untuk menyenangkan hati saya, pantas juga dihargai, dan kukatakan biar keliru satu nggak apa-apa.  Apalagi dari keenam penari itu satupun tidak ada yang berasal dari Etnis Karo, semua mereka adalah Etnis Melayu.  Dan aku sangat bangga dengan keterampilan mereka.

Naaah Sekarang Baru Nampak Ciri Karo-nya khaaan???

Naaah Sekarang Baru Nampak Ciri Karo-nya khaaan???

 

Sungguh penampilan mereka, kendatipun diatas sebuah panggung kecil di pinggiran kota (dengan ladang ubi disekitarnya)  , sangat mengesankan.

 

Pengantin Baru dan Penganten Lama (Terasa Badan Sudah Tua yaaaa).

Pengantin Baru dan Penganten Lama (Terasa Badan Sudah Tua yaaaa).

Oleh: Sony | Oktober 30, 2008

WISATA IMAN

Graha Maria Annai Velangkanny

 

Sangat menakjubkan dan sungguh indah. Mungkin bisa menjadi salah satu keajaiban dunia pada abad milenium kedua.  Itulah kesan pertama ketika berkunjung ke  Graha Maria Annai Velangkanni yang berlokasi  di Jalan Sakura Indah III no 10 Tanjung Selamat, Medan Sumatera Utara.

Gaya arsitekturnya unik, berpadu dengan simbol-simbol religi menjadikannya satu Gereja Katholik yang megah dan indah. Bagi anda yang gemar melakukan wisata religi, Graha Maria Annai  Velangkani bisa menjadi salah  satu pilihan.

 

Gereja Katholik Graha Maria Annai Velangkani

Gereja Katholik Graha Maria Annai Velangkani

 

 

Munculnya Graha Maria Annai Velangkanni ini diprakarsai oleh Pastor James Bharataputra SJ, yang sejak 35 tahun yang lalu sudah bercita-cita membangun sebuah tempat ziarah Annai Velangkanni di Indonesia.

Asal usul Devosi Annai Velangkani ialah abad XVII, di sebuah dusun di pesisir Tanjung Benggala, di India Selatan, di Propinsi Tamil Nadu, dimana telah terjadi muzijat  penyembuhan baik jasmani maupun rohani.  Sejak itu pemuja Maria Annai (bunda) datang berziarah dari seluruh penjuru,  dari berbagai suku, bangsa,  bahasa, dan kepercayaan manapun,  untuk berbagi rahmat Tuhan.

 

Ornamen Pintu Gerbang Bagian Tengah Rumah Adat Batak Toba, Bagian Tepi Kiri-Kanan Rumah Adat Karo

Ornamen Pintu Gerbang Bagian Tengah Rumah Adat Batak Toba, Bagian Tepi Kiri-Kanan Rumah Adat Karo

 

 

Sebagaimana disebutkan didalam Buku Panduan Graha Maria Annai Velangkanni yang ditulis oleh Pastor James Bharataputra SJ sendiri, maka Graha Annai Velangkanni yang ada di kota Medan, bukanlah duplikat dari Basilika Annai Velangkanni di India Selatan, karena baik arsitektur maupun konsep konsep yang dianut oleh Graha Maria Annai Velangkanni di Medan sama sekali baru.

 

Dibelakang Ruang Doa, terdapat keran air suci yang muncul secara ajaib pada waktu pemasangan Patung Annai Maria Velangkanni.  Air tersebut mengalir terus menerus membasahi lantai ruang doa, sehingg akhirnya dibuka dan dibuatkan keran untuk dijadikan oleh-oleh bagi kaum peziarah. Juga untuk kepentingan peziarah disediakan kemasan botol dengan biaya pengganti secara suka rela (seikhlasnya).

 

Ruang Doa Utama (Tempat Mata Air Muncul)

Ruang Doa Utama (Tempat Mata Air Muncul)

Dua Botol Air Suci
Dua Botol Air Suci
Oleh: Sony | Oktober 20, 2008

PAWANG TERNALEM (Bagian Ke Tujuh)

LAGU RINDU PUTRI BRU PATIMAR

 

Sudah empat bulan Pawang bekerja keras membuka hutan.  Nampaknya lahan yang akan dirancangnya sebagai kebun sudah cukup.   Lima  puluh rante sebagai kebun kelapa,  lima puluh rante kebun durian dicampur rambutan dan duku, sepuluh rante untuk pertanian huma untuk ditanami padi, ubi-ubian dan pisang. Lalu sebagian rawa kira-kira sepuluh rante untuk bertanam nipah dan akan dibuatkan kolam ikan atau tambak. Masa  pembakaran masih ada dua bulan lagi, sehingga , Pawang Ternalem berpamitan kepada Pengulu Jenggi Kumawar untuk pulang ke Srenggani.  Karena sesuai janjinya dengan Datuk Rubia Gande, dia akan menjalani ritual Ngulak dan Upacara Ngombak.  Karena bulan sudah naik sesuai tanggal yang telah dijanjikan.  Malam itu,  Pawang juga berpamitan kepada Putri Bru Patimar.   Pawang meninggalkan bulang-bulang (ikat kepala) sebagai tanda perikatannya, dan Bru Patimar juga menyerahkan selendang sebagai tanda pengingat, selama masa perpisahan.  Tidak banyak yang dikatakan Pawang kecuali menjelaskan bahwa penundaan ini semata-mata demi kebaikan masa depan mereka.  Berat rasa hati Bru Patimar untuk melepaskan sang kekasih, namun bibirnya serasa kelu, kecuali butir air mata yang  jatuh berderai dipipinya.  Pawang menghilang ditengah kegelapan, mata Bru Patimar menerawang langit penuh bintang.  Bulan sabit tipis sekali, terlihat mengintip diujung atap beranda.  Ada genderang yang bertalu-talu didalam dadanya, tapi juga ada jerit yang sangat dalam dilembah hati seorang wanita yang tengah dilanda cinta.

Diambilnya pandan anyaman, lalu dia duduk diberanda sambil menganyam  tikar putih.  Enam bulan terakhir ini dia sungguh sungguh telah berubah.  Dia belajar memasak, dia belajar bertenun, dan juga belajar menganyam sumpit dan tikar.  Dan yang mengubah segalanya adalah cinta.  Jemarinya yang lentik  mulai mengait dan menepis pandan, sambil bersenandung.

 

Bagi si lit bagi si lahang

Sora erlebuh man bangku

Kepe warina langa terang

Sanga tertunduh kal aku

Ije minter medak mata ngku

Iluh pe mambur bas ayongku

 

 

Kupernehen ku kawes kemuhun

Ise pe la lit kuidah

Ije kuinget arih-arihta sindube pe lolo

Nambah nambahi ate megogo

 

De uga denga kal kubahan bangku turang

Megati jumpa ningen lanai bo banci sayang kusayangi

Enda kuinget kal kam si tiap berngi jadi kal ateku

Nambah nambahi ate mesui

 

Terjemahan bebas

 

Antara ada dengan tiada

Sayup sayup suara yang memanggilku

Ternyata hari masih malam

Saat tertidur ragaku

Lalu ketika aku terjaga

Terasa air mata berlinang di pipiku

 

Kupalingkan wajah ke kiri dan kekanan

Tiada ada siapa pun jua

Menyentuh ingatanku tentang  cinta kita yang terbengkalai

Menambah luka dalam hatiku

 

Duhai apa lagikah yang dapat kulakukan

Seabab untuk bersuapun semakin sulit

Walau ingatanku hanya dikau sepanjang malam

Manambah penderitaanku,  semakin dalam

 

 

Malam semakin larut dan binatang-binatang  malam dihutan semakin merdu meneriakkan lagu-lagunya.  Ngilu perasaan Bru Patimar mengenang kisah kasihnya.  Kekasih pujaan telah berangkat untuk meretas jalan pertemuan sejati. Berapa lama lagikah dia harus menunggu Pawang pulang.  Dan  jikalaulah perjuangan mengusir segala halangan itu tidak berhasil….., ngeri rasanya memikirkan hal-hal yang tidak menguntungkan itu.  “Ya Tuhan, berikan perlindunganmu kepada Kakanda Pawang Ternalem, agar semua rintangan itu dapat dia singkirkan, segeralah Dikau kembalikan dia kepadaku…..”  begitulah bisik Bru Patimar dalam doa tengah malamnya.  Digulungnya tikar yang telah separuh jadi, dia beranjak ke rumah untuk meneruskan lamunanya bersama bantal di Pulau Kapuk.

Sementara itu, perjalanan Pawang Ternalem menuju Srenggani sudah hampir sampai.  Suara kokok ayam hutan menandakan  subuh hampir tiba. Langit di Timur merah membara.  Pawang dapat menatap Selat Malaka dari kejauhan. Laut itu terasa teduh dan sangat luas. Seteduh dan seluas hati manusia yang penuh keyakinan.

Srenggani masih seperti dulu. Dengusan air terjun yang tidak menghiraukan perjalanan waktu.  Ranting-ranting kering berderak patah terbanting ke tanah.  Daun-daun berguguran menumpuk lapis demi lapis dipermukaan tanah, lembut terpijak kaki Pawang.  Suara burung Jungkararip diatas pohon yang tinggi, menyambut pagi hari ini.  Hari-hari penuh dengan tugas-tugas baru.

Oleh: Sony | Oktober 16, 2008

Ritual Adat

MEMBERI PENGHORMATAN KEPADA ORANG TUA

 

Dalam konteks budaya orang Karo ada nasihat yang mengatakan hormatilah ibu bapa (orang tuamu), agar usiamu dipanjangkan di dunia ini,  Maka, jika kita berjalan-jalan di daerah yang mayoritas penduduknya Suku Karo yakni di daerah Tanah Karo, kemudian daerah Langkat Hulu, daerah Deli Hulu, daerah Tanah Pinem Dairi dan Urung  Silau Simalungun Atas,  dan kita berjumpa dengan orang yang sudah uzur usianya, pastilah dikatakan dia termasuk orang yang  menghormati orang tuanya, sehingga umurnya dipanjangkan oleh Yang Maha Kuasa.

Usianya Menjelang 100 Tahun

Usianya Menjelang 100 Tahun

Pada hari Senin 6 Oktober 2008 yang lalu, aku mengikuti Upacara penghormatan kepada Orang Tua yang dilakukan oleh Keluarga Karo-karo Barus Kesain Rumah Jahe, desa Talimbaru Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo.  Keterlibatanku dalam acara itu adalah karena kedudukanku sebagai Anak Beru Dareh.  Cucu pertama dari orang yang mendirikan Desa Talimbaru (terdiri dari dua Kampung),   memiliki anak laki-laki tiga orang. Yang pertama memiliki tiga anak perempuan tetapi tidak ada anak laki-laki. Anak yang kedua mempunyai satu orang anak perempuan tetapi tidak mempunyai anak  laki-laki. Yang bungsu mempunyai tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan.  Anak perempuan yang terakhir inilah ibundaku, dan aku juga satu-satunya anak laki-laki dari bundaku.  Dari ketujuh cucu pendiri desa itu, tinggal satu orang yang masih hidup, yakni abanganda dari ibundaku, yang selalu kupanggil Mamatengah. Isterinya kupanggil Mamitengah. Usianya diperkirakan sembilan puluh delapan tahun, dengan penggunaan tanda waktu kelahirannya pada saat terjadi Linur Batukarang yakni kejadian gempa yang sangat dahsyat di sekitar Gunung Sinabung, yang tercatat dalam sejarah pada tahun 1910. (Pada kejadian gempa itu beliau sudah lahir).

Sepasang Ciken Terikat Tebu

Sepasang Ciken Terikat Tebu

 

Adapun gambaran pernyataan kehormatan itu adalah:

  1. Memberikan tongkat perlambang penopang raganya. Supaya dia tidak menopangkan kelemahan ketuaannya kepada  tundi (roh/jiwa) seluruh keturunannya.
  2. Tebu gara (merah)  sebagai lambang keberuntungan dan manisnya kehidupan. Juga ruas-ruas tepu menunjukkan estafet kehidupan, baik kewajiban maupun tugas-tugas.  Bahwa saat ini tugas itu sudah saatnya dilimpahkan kepada keturunan.
  3. Sampe Tuah, (tanaman rumput), supaya  seluruh keturunannya memperoleh kesangapen, ertuah dan bayak.  Sangap artinya beruntung dalam kehidupan, Ertuah artinya memperoleh keturunan baik anak laki-laki maupun anak perempuan.  Bayak artinya mempunyai kekerabatan yang besar, memiliki saudara, handai taulan dan kerabat  dimana-mana.
  4. Gantang/Tumba, yakni alat untuk menakar (literan).  Sebagai lambang kemampuan keturunannya menakar dan menimbang secara adil dan jujur didalam kehidupannya (tidak curang).
  5. Bulung-bulung Simelias Gelar, adalah seikat daun daun dan bunga-bungaan yang berbagai jenis, sebagai lambang penyejuk kehidupan, sitawar sidingin.
  6. Beras piher/beras meciho, gelah piher tundi meciho perukuran. (Perlambang  untuk jiwa yang kuat dan hati/pikiran yang jernih).

Disamping itu, juga dipakaikan pakaian yang lengkap, biasanya juga berbentuk baju Jas dan Kebaya.

Ketika penghormatan anak terhadap orang tua telah ditunaikan, maka orang tua merasa sudah saatnya membayar hutang adat kepada kalimbubu dan puang kalimbubu. (Jika tidak ada acara sedemikian, maka membayar hutang adat ini dilakukan pada upacara kematian yang bersangkutan). Kalimbubu (pihak keluarga ayah ibu dan saudara laki-laki dari nenek, ayah ibu dan sudara kali-laki ibunda, ayah ibu dan saudara laki-laki isteri, ayah ibu dan saudara laki-laki dari menantu perempuan.  Kedudukan mereka menjadi penting (terutama saudara laki-laki dari ibunda yang melahirkan kita) karena dia disebut : Dibata Niidah = Tuhan yang kasat mata ataupun pengeriannya Wakil Tuhan di Dunia, sehingga penghormatan kepada mereka sama artinya dengan berbakti kepada Tuhan. Utang adat itu berupa Kain tenun (Uis Mekapal) rikut Batu Simalem (Berupa Uang/Kalau Dahulu Emas/Perak). Adapun yang mendapatkan pembayaran hutang adat adalah:

1.   Kalimbubu Simada Dareh. (Keturunan Kakek dari pihak Ibu Orang  yang diupacarai adati). Dalam kasus ini, Kakek mamatengah (Ayah dari Ibundanya) bermarga Tarigan TambakUntuk peristiwa kali ini, karena ibunda dari mamatengah  (nenekku) adalah Beru Tarigan Tambak  dari Desa Cingkes, maka Utang Adat diserahkan kepada Marga Tarigan Tambak.

2.   Puang Kalimbubu  Dareh. (Keturunan  Saudara Laki-laki  Nenek dari Pihak Ibu Orang yang diupacarai Adat). Dalam upacara ini, nenek mamatengah (ibunda dari ibundanya) adalah Beru Sembiring, sehingga yang menerima Uis kapal Puang Kalimbubu adalah Marga Sembiring dari Desa Suka Sigedang.

(Ada satu kalimat perlambang tentang kain pembayar hutang ini

Membayar Utang Adat Orang Tua Kepada Kalimbubu

Membayar Utang Adat Orang Tua Kepada Kalimbubu

 

Seterusnya  oleh orang tua, diberikan kepada anak-cucu kain gendongan. Kain gendongan itu mempunyai pilsafat enteguh idoah  artinya dalam segala aspek kehidupan orang tua tetap memberi perlindungan, sama seperti ketika masih bayi digendong kuat-kuat supaya tidak jatuh ketangan yang berbahaya. Kalau pada zaman dulu berupa kain tenunan, tapi sekarang untuk praktisnya diganti dengan kain batik. Diistilahkan kain panjang murah-murah supaya  murah rejeki.

Kemudian kepada orang tua juga diberi makanan kehormatan yakni berupa nasi yang diatasnya manuk sangkep daging ayam yang telah diolah/dimasak dengan bumbu tradisional dan disusun kembali seperti bentuk ayam.  Lalu dari Kalimbubu (keluarga nenek, keluarga mamak, keluarga isteri, keluarga menantu perempuan) memberikan makanan berupa Ikan Jurung yang dimasak secara utuh.   Dengan demikian, olehnya telah dirasakan penghargaan yang tulus dari anak-anak dan cucu-cucu serta kaum kerabat.

Makanan Kehormatan Diserahkan Penuh Doa

Makanan Kehormatan Diserahkan Penuh Doa

 

 

 

 

Oleh: Sony | Oktober 8, 2008

PAWANG TERNALEM Bagian Keenam)

PENANGGALAN SEBAGAI PEDOMAN

 

Setelah  merampungkan posting ke lima tentang Kisah Pawang Ternalem, begitu banyak disebut mengenai hari sial, mengenai makna hari kelahiran dan tata kegiatan tradisi lainnya.  Mungkin akan menjadi lebih difahami dan diminati apabila diketahui latar belakang dan materi penanggalan itu sendiri.  Akhirnya aku  memutuskan memposted kalender itu, sebagai bahan referensi.  Terlebih-lebih ada kaitan faktor waktu acara Ngulak, Buang Sial, Erpangir Lamsam,  yang wajib dilakukan oleh Pawang Ternalem.  Semoga dapat menambah wawasan.

Nama-nama Penanggalan Dalam Kalender Karo, yang diduga berasal dari penanggalan Hindu (Sansekerta). Terbagi dalam 12 Paka, satu  Paka berarti peredaran bulan dalam satu siklus terdiri dari Empat Minggu diawali satu malam sebelum bulan muncul dan diakhiri satu malam setelah bulan mati, maka totalnya adalah 28 + 2 = 30 hari.  Setiap hari mempunyai identitas tersendiri dan makna tersendiri pula.  Uraian ringkasnya adalah sebagai berikut.

Minggu I

1. Aditia

2. Suma

3. Nggara

4. Budaha

5. Beraspati Pultak

6. Cukera Enem Berngi

7. Belah Naik

Minggu II

8. Aditia Naik

9. Sumana Siwah

10. Nggara Sepuluh

11. Budaha Ngadep

12. Beraspati Tangkep

13. Cukera Dudu/Lau

14. Belah Purnama Raya

Minggu III

15. Tula

16. Suma Cepik

17. Nggara Enggo Tula

18. Budaha Gok

19. Beras Pati Sepulusiwah

20. Cukera si Duapuluh

21. Belah Turun

Minggu IV

22. Aditia Turun

23. Sumana Mate

24. Nggara Simbelin

25. Budaha Medem

26. Beraspati Medem

27. Cukera na Mate

28. Mate Bulan

29. Dalin Bulan

30. Sami Sara ( setelah itu diawali kembali dengan Aditia dst).

Dari penanggalan ini dapat dilihat bahwa ada tujuh jenis hari dalam satu minggu, dan masing masing mempunyai identitas sama sebagai berikut:

Identitas  untuk Minggu I, II, III, dan IV  sebagai berikut:

Hari Pertama :Aditia,  Aditia Naik, Tula, dan Aditia Turun.

Hari kedua     : Suma, Sumana Siwah,  Suma Cepik, dan Sumana Mate.

Hari Ketiga     : Nggara, Nggara Sepuluh, Nggara Enggo Tula, dan Nggara Simbelin.

Hari Keempat: Budaha, Budaha Ngadep, Budaha Gok, dan Budaha Medem.

Hari Kelima      : Beraspati Pultak, Beraspati Tangkep, Beraspati Sepulusiwah dan  Beraspati Medem.

Hari Keenam: Cukera enem berngi, Cukera Dudu, Cukera Duapuluh, Cukera Mate.

Hari ketujuh: Belah Naik, Belah Purnama Raya, Belah Turun, Mate Bulan.

Hari pengenapan setelah mate bulan (hari ke duapuluh delapan) maka untuk menggenapkan tiga puluh hari adalah : Dalin Bulan  dan Samisara. Setelah itu kembali ke tanggal satu yakni Aditia.  

Untuk perhitungan tiga puluh hari disebut satu Paka dengan satu tahun terdapat duabelas Paka. Nama-nama Paka (identitas Bulan) adalah:

Penyesuaian  Tanggal Masehi Tahun 2008

  1. Paka I     = Kambing  (10 Januari s/d  8 Februari)  Kambing
  2. Paka II    = Lampu      ( 9 Februari s/d 10 Maret)    Lampu
  3. Paka III   = Gaya        (11 Maret s/d  9 April)          Cacing Tanah
  4. Paka IV  = Padek       (10 April   s/d   10 Mei )        Kodok
  5. Paka V   = Arimo        (11 Mei     s/d   9 Juni)         Harimau 
  6. Paka VI  = Kuliki          (10 Juni    s/d  9 Juli)           Rajawali
  7. Paka VII = Kayu          (10 Juli   s/d 8 Agustus)         Kayu
  8. Paka VIII= Tambok     (9 Agustus s/d 8 September) Telaga
  9. Paka IX  = Gayo         (9 September s/d 9 Oktober)   Kepiting
  10. Paka X   = Baluat        (10 Oktober s/d 9 Nopember )  Seruling
  11. Paka XI  = Batu           ( 10 Nopember s/d 9 Desember) Batu
  12. Paka XII = Binurung    (10 Desember s/d  9 Januari 2009). Ikan

 

Pedoman  Penggunaan Penanggalan Wari Karo.

1.  Aditia

Baik untuk memulai sesuatu kegiatan, satu  permufakatan.

2.  Suma

Hari untuk mahluk berkaki dua, termasuk manusia dan bangsa  unggas. Baik mengerjakan pekerjaan berburu.

3. Nggara

Hari panas, baik untuk memerangi musuh, membuang sial, meramu obat-obatan, membuka hutan untuk perladangan.

4. Budaha

Hari bagi mahluk empat kaki, hari untuk padi, baik untuk mulai menanam benih, menyimpan padi ke lumbung,  juga untuk kenduri.

5. Beras Pati Pultak.

Hari yang licin, baik untuk memulai pembangunan rumah,  memasuki rumah baru,  memulai usaha berjualan/buka kedai,  melamar pekerjaan.  Jangan ada perdebatan/perselisihan paham pada hari ini.

6. Cukera Enem Berngi.

Hari penutup kegiatan, hari untuk berangkat merantau,  melamar pekerjaan, menghadap orang besar/berpangkat,  mengadakan pesta perkawinan,  juga melamar calon istri atau menyatakan cinta.

7. Belah naik.

Hari penuh keramat, Hari Raja,  Hari Perkawinan,  Hari Bersyukur, baik untuk Ergendang (Pesta Musik Tradisional).

8. Aditia Naik.

Hario baik untuk semua jenis pesta dan kenduri. Memulai permufakatan,  Membuat Syukuran, Memasuki Rumah Baru.

9. Sumana Siwah

Hari kurang baik.  Harus hati-hati.  Baik untuk memasang jerat atau bubu, pergi berburu atau menangkap ikan.

10. Nggara Sepuluh.

Hari panas.  Hati-hati berbicara, jangan bertengkar,  baik untuk meramu obat,  Memulai satu usaha, Buang Sial,  Memasuki Rumah Baru,  Perkawinan,  Membangun  Kuburan/Tugu.

11. Budaha Ngadep.

Hari sempurna, baik untuk segala kegiatan.

12. Beraspati Tangkep.

Hari baik menghadap orang besar atau pejabat,  Melamar Pekerjaan,  Pesta-pesta keluarga,  Erpangir Kulau, Perumah Begu Jabu,  Memberikan Persembahan kepada Tuhan.

13. Cukera Dudu (Cukera Lau).

Hari baik melangsungkan perkawinan,  Nuan Galoh Lape-lape, Membangun Rumah Tempat Berdoa,  Memasuki Rumah Baru,  Erpangir ku Lau.

14. Belah Purnama Raya.

Hari Raja.  Baik untuk semua pekerjaan mulia, Erpangir kulau, Guro guro Aron,  Naruhken Anak ku Kalimbubu.

15. Tula.

Hari Sial.  Sebaiknya jangan mengerjakan sesuatu.  Satu-satunya yang dianjurkan adalah Menanam Kelapa.

16. Suma Cepik.

Hari kurang baik kalau ada kekurangan atau tidak selesai  atas sesuatu yang dilakukan hari itu.  Perlu penggenapnya Bulung-bulung Simalem-malem.  Baik memasang jerat, memasang bubu, memancing/menjala ikan dan berburu.

17. Nggara Enggo Tula.

Baik untuk melaksanakan upacara buang sial,  Meramu obat, Erpangir Selamsam.

18. Budaha Gok.

Hari Panen Raya.  Baik untuk semua kegiatan bercocok tanam. Menanam, menuai, menyimpan ke lumbung atau mengambil padi dari lumbung.

19. Beraspati Sepulusiwah.

Membuka lahan atau merambah hutan,  Menebang Kayu untuk membangun rumah,  membuat Pondok di Ladang/Kebun.

20. Cukera si Duapuluh.

Baik untuk memasak obat obatan, Memasuki Rumah Baru,  Nampeken Tulan tulan,  Erkata Gendang.

21. Belah Turun.

Buang Sial, Memasang Jerat,  berburu dan  Memancing.

22. Aditia urun.

Meramu Obat, Menghanyutkan seluruh unsur kesialan ke laut.

23. Sumana Mate.

Buang Sial, Memasang Jerat,  berburu dan  Memancing.

24. Nggara Si Mbelin.

Meramu Obat, Hari Berdoa Kepada Tuhan untuk Permintaan Yang Baik.

25. Budaha Medem.

Baik untuk semua kegiatan bercocok tanam. Menanam, menuai, menyimpan ke lumbung atau mengambil padi dari lumbung.

26. Beras pati Medem.

Hari Kesejukan.  Membuat Upacara Penghormatan Kepada Orang Tua,  Ndahi Kalimbubu,  Mere nakan man Orang Tua.

27. Cukera Mate

Buang Sial,  Meramu Obat, Berburu dan memancing.

28. Mate Bulan.

Ngulak, Buang Sial,  Nubus Semangat, Berburu, Turun ke Laut.

29. Dalin Bulan.

Hari untuk Menindik Kuping.

30. Samisara

Hari Penutupan. Menyelesaikan semua pekerjaan,  Penutupan Arisan, Numbuki Aron, Hari Berdoa.

Demikianlah penanggalan yang harus dipedomani, yakni Wari, dan Paka sebagai dasar penentu pelaksanaannya.

     

 

Rumah Adat Karo

Rumah Adat Karo

Oleh: Sony | Oktober 4, 2008

AIR DAN TANAH sumber kehidupan

Mari… selamatkan  AIR DAN  TANAH kita,

UNTUK SEBUAH  ARTI KELANGGENGAN HIDUP

Air.

Jika kita ditanya, darimana datangnya air, pasti bermacam-macam jawabannya.  Dan boleh jadi, jawaban itu semua benar.  Mengapa demikian, karena semua  yang ada di alam raya ini disinyalir mengandung air.  Mungkin ada beberapa yang tidak mengandung air, tapi sangat sedikit bendanya.   Kalau kita tanya orang kampung di pegunungan, maka mereka akan mengatakan sumber air adalah mata air atau pancuran di celah-celah batu gunung.  Kalau ditanya rakyat pedesaan dataran rendah, maka mereka akan menjawab bahwa sumber air adalah dari sumur atau air tanah.  Kalau menurut air minum kemasan, berasal dari mata air pegunungan.  Kalau ditanya Pawang Hujan, air berasal dari awan. 

Lingkar Perjalanan Air.

Siklus perjalanan air adalah ketika titik embun yang  berada pada langit mencapai titik jenuh, turun menjadi hujan.  Hujan jatuh dipermukaan bumi, (menurut lagu, jatuh di genteng, pohon dan ranting….basah semua), atau dihutan-hutan, atau di rawa-rawa…(hlah dimana sajalah pokoknya).  Selanjutnya sebahagian meresap kedalam tanah dengan proses yang disebut dengan istilah infiltrasi dan ketika tanah sudah mulai jenuh, air menggenang dipermukaan tanah dan mencari tempat yang lebih rendah. Nah, ketika mereka bergerak mencari daerah yang lebih rendah, terjadilah aliran air dipermukaan tanah yang disebut dengan istilah surface run off . Jika air hujan jatuh pada tanah yang miring, maka tetsan air ini tidak akan sempat menelusup kedalam rongga tanah,  dan langsung terpeleset menjadi aliran permukaan. Air yang mengalir dipermukaan tanah tersebut akan bertambah besar jumlahnya setelah bertemu dengan saudara-saudaranya yang lain, ngumpul menuju lembah, nyebur kedalam sungai. Jika jumlah air yang mengalir dipermukaan jauh lebih besar dibandingkan dengan yang meresap kedalam tanah, inilah yang akan menyebabkan banjir atau luapan aliran permukaan.

Lha, air yang ada didalam sungai itu sendiri, sebenarnya juga berasal dari air hujan yang meresap kedalam tanah, seterusnya menembus lapisan yang mampu menyimpan air yang pada umumnya merupakan lapisan pasir (mereka sebut namanya lapisan aquifer) dan pada tempat tertentu menumpahkan airnya kembali kepermukaan yang kita namakan sumber ataupun mata air. Yang satu ini, hujan tidak hujan, airnya terus mengalir kedalam sungai. Sungai dengan segala sifat-sifatnya, mengalirkan air jauuuuuuuuuuuuh sampai ke laut.  Air laut (biasanya asin) ketika mendapat energi panas matahari mengalami penguapan.  Proses penguapan ini disebut evaporasi. Air laut yang menguap ditiup angin menuju darat, mendaki lereng sampai ke puncak gunung, mengumpul jadi satu, berubah menjadi embun.  Maka turunlah hujan.  Kalau umpamanya uap air yang naik ke lapisan atmosfeer masih berada diatas lautan, kemudian mencapai titik jenuh, jatuh kembali ke laut sebagai hujan, dinyatakan siklus pendek.

Neraca Air  (Water Balance).

Menurut seorang ahli hidrologi yang dikenal dengan nama Thornwaite,  untuk menjaga kelanggengan kehidupan, harus ada keseimbangan air didalam siklus perjalanannya mulai dari titik hujan di dalam kawasan tangkapan hujan sampai kepada  lepasnya air ke laut pada muara sungai. Seorang pakar lain  bernama Pennman merumuskan keseimbangan neraca air yang ideal adalah ketika hujan jatuh ke bumi, sepertiganya langsung mengalir sebagai aliran permukaan seterusnya menjadi aliran sungai, sedangkan dua pertiganya meresap kedalam tanah.  Yang dua pertiga tersebut sepertiganya dilepas kedalam sungai melalui mata air (spring), melalui rembesan (seepage) dan perkolasi kedalam tubuh sungai untuk selanjutnya menjadi aliran sungai dalam jangka waktu sebulan. Demikian timpa menimpa setiap kali turun hujan sehingga terbagi air menjadi tiga bagian yakni sepertiga langsung mengalir dipermukaan, sepertiga mengalir melalui proses air tanah dan sepertiganya masih tertinggal didalam tanah atau disebut juga timbunan air tanah (ground water storage).  Memang besarnya kapasitas penyerapan atas air hujan bergantung sifat tanah baik kondisi penutupan lahan, kemiringan lereng, dan tingkat kekasaran tekstur tanah.  Demikian juga dengan kemampuan lapisan batuan menyimpan air bergantung tebalnya dan jenis aquifer sebagai media penyimpanannya.

Pengawetan Tanah (Soil Conservation)

Ketika hujan jatuh ke permukaan tanah, maka dia akan memberikan energi kepada tanah sehingga tanah serasa terhempas oleh butiran air.
Selanjutnya pergerakan air juga akan mengikis dan mengangkut tanah berbondong-bondong (emangnya pengungsi….) kedalam sungai. Proses pengikisan ini mereka sebut istilahnya erosi. (Siapa tahu nanti di koran-koran ada istilah erosi, maka pengiksan tanah adalah salah satu pengertiannya, disamping pengertiam lain).  Akibat banyaknya butiran tanah yang dimasukkan kedalam sungai, maka air sungai menjadi keruh.  Para ahli menghitung tingkat kadar tanah didalam air sungai dengan istilah suspended load atau muatan suspensi.  Tapi aku lebih suka menggunakan kata-kata kadar lumpur saja.   Sungai-sungai yang keruh mencirikan penggunaan tanah pada daerah aliran sungainya tidak dilakukan dengan baik. Untuk menjaga agar lapisan tanah tidak menjadi bulan-bulanan air hujan, perlu dilakukan penjagaan, terutama pada daerah-daerah yang berlereng terjal.  Cara-caranya menurut orang pintar (bukan dukun lho….) adalah :

  1. Penggunaan tanah disesuaikan dengan sifat fisik dari  tanah tersebut terutama kemiringan lereng dan tingkat kekasaran butir tanah.  Untuk tanah yang sangat rentan terhadap erosi, sebaiknya dihutankan saja. Karena telah terbukti kawasan hutan tidak mengalami erosi.
  2. Membuat Terasering atau Sengkedan.

Akibat keterbatasan lahan yang tersedia bagi usaha tani, maka para petani terpaksa juga menggarap tanah berlereng.  Nah untuk itu, agar tanah terhindar dari erosi, ada baiknya dilakukan pengelolaan dengan sengkedan atau teras-teras. Kalau kepingin tahu cara membuat sengkedan yang baik, boleh nyontek cara saya. (Aku juga nyontek dari Pak I Made Sandy (Alm).

Terkait dengan penyesuaian penggunaan dimaksud, dapat digolongkan sebagai berikut:

  1. Wilayah yang penggunaan tanahnya sudah baik, dan tingkat kerentanan terhadap erosi memang rendah. Terutama areal  perkampungan dan persawahan.
  2. Wilayah yang penggunaan tanahnya memerlukan pembuatan sengkedan.  Biasanya tanah pertanian yang sudah settle, tapi berlereng masih membutuhkan perbaikan fisik, untuk menjaga  agar lapisan tanah terutama horizon A tanah tidak terkikis. Pada umumnya pertanian yang sifatnya demikian adalah  kebun campuran, dengan tingkat kemiringan tanah 20 sampai 40 %
  3. Wilayah yang sebaiknya ditanami dengan tanaman keras.   Secara alamiah, daerah pada ketinggian diatas 500 dpal, merupakan daerah pertanian tanaman keras seperti kopi, cengkeh, durian dan akhir-akhir ini juga kelapa sawit.  Jika daerah ini diolah dengan tanaman muda, maka akan sangat rentan terhadap erosi tanah.
  4. Wilayah yang harus dibuat sengkedan dan harus ditanami tanaman keras. Daerah berlereng, tekstur tanah kasar dan curah hujan tinggi, seyogyanya diolah dengan pola terasering dan tanaman yang akarnya mampu menahan gerakan tanah.
    Wilaha Tanah Usaha Terbatas II Sebaiknya ditanami Tanaman Keras

    Wilaha Tanah Usaha Terbatas II Sebaiknya ditanami Tanaman Keras

     

     

     

Untumerumuskan kebijaksanaan pengelolaan atau penatagunaan tanah, oleh Prof. Dr. I Made Sandy dari Jurusan Geografi FMIPA Universitas Indonesia dikelompokkan dengan istilah Wilayah Tanah Usaha sebagai berikut:

1.  Wilayah Tanah Usaha Terbatas I, yakni daerah pantai dengan ketinggian kurang dari 2 m dpal.  Daerah ini wajib dilindungi sebagai kawasan perlindungan pantai.  Disamping menjaga habitat biota laut dengan hutan bakaunya, perlindungan pantai juga mencegah intrusi air laut atau merembesnya air asin kedalam air tanah daerah pantai.

2.    Wilayah Tanah Usaha Utama Ia,  areal dengan ketinggian antara 2 sampai 100 m dpal.  Dengan perincian ketinggian 2 sampai 7 m sebaiknya untuk tambak, kemudian garis bendungan yang ideal adalah pada ketinggian 25 m dari permukaan laut.  Penggunaan utama wilayah ini adalah untuk persawahan irigasi teknis untuk ditargetkan panen minimal dua kali setahun.

3.  Wilayah Tanah Usaha Utama Ib, dengan ketinggian antara 100 m sampai 500 m dpal.  Jika masih tersedia air, masih cocok untuk persawahan.  Kemudian sesuai sifat fisiografinya, baik untuk tanaman keras dan buah-buahan, tanaman perkebunan.

4.   Wilayah Tanah Usaha II, dengan ketinggian 500m sampai 1000 m dpal.  Daerahnya bergelombang, berbukit-bukit.  Apabila terdapat tanah yang datar cocok untuk tanaman hortikultura dan sayur-sayuran.  Daerah berbukit dan bergelombang  sebaiknya ditanami dengan tanaman keras yang cocok dengan udara sejuk seperti cengkeh, kopi, kemiri, jeruk, dan sebagainya.

5.  Wilayah Tanah Usaha Terbatas II dengan ketinggian lebih dari 1000 m dpal.  Daerah ini sebaiknya dijadikan kawasan lindung atau dihutankan.  Jika ada dataran yang luas sangat sesuai dengan tanaman bunga bungaan, sayur-sayuran dan buah-buahan iklim dingin.

Penutup

Kalau dikaji-kaji, kerusakan tanah itu semua karena kehadiran air. Terlalu banyak air mengakibatkan erosi, tanah longsor (landslide) dan banjir.  Sebaliknya jika air tidak ada, maka akan terjadi kekeringan dan tumbuhan akan mati, bahkan manusia juga bisa saja kehilangan air baku untuk konsumsi.   Kesimpulannya, menjaga keseimbangan air itu sangat penting, dan jalan satu-satunya adalah mengelola sumberdaya tersebut secara arif dan bijaksana.

Mari, selamatkan hutan, tanah dan air kita.

 

 

Oleh: Sony | September 29, 2008

PAWANG TERNALEM (Bagian Kelima)

Mengaduk aduk Perasaan

 

Sesuai perintah Datuk Rubia Gande, maka berangkatlah Pawang menuju rumah kakek di kampung Pertumbuken Lau Mbelin untuk memohon doa restu dan persiapan upacara sebagaimana diperisyaratkan menurut pembacaan kalender ( pengoge wari sitelupuh, paka sisepuludua).  Pertemuan dengan kakek dan nenek tentulah sangat mengharukan.  Bahkan berita tentang turunnya madu Tualang Simande Angin pun sudah sampai ke kampung dibawa oleh Perlanja Sira.  Maka berkumpullah Sangkep Nggeluh Pawang Ternalem, sesuai aturan adat Merga Silima Tutur Si Waluh, Rakut si telu, Perkade-kaden Sepulusada tambah sada). Dipersiapkanlah seserahan kepada keluarga Pengulu Jenggi Kumawar dibawah pimpinan Pengulu Jandi Melasang.  Inti dari perutusan ini adalah membawa  dua khabar penting yakni, pertama bahwa Keluarga Pawang Ternalem secara resmi melamar Beru  Patimar menjadi calon isteri Pawang.  Yang kedua,  bahwa acara resmi perkawinan dilaksanakan setelah satu musim kedepan, karena Pawang ernalem harus mengikuti ritual-ritual demi kelanggengan perkawinannya kelak.

Kedatangan Pengulu Jandi Melasang, pada dasarnya sudah diterima oleh kaum Kerajaan Jenggi Kumawar.  Namun, untuk pengesahannya, Pawang harus ikut mengabdi di Rumah Pengulu sampai hari pernikahan tiba, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini disebut juga dengan Ngian-ngiani (berjaga-jaga).

Untuk kegiatan Ngulak akan dilakukan pada hitungan Paka Arimo (bulan Harimau ) warina Nggara Enggo Tula, yang kira-kira masih ada empat bulan sejak pengantaran lamaran itu.  Karena itu, akhirnya Pawang mengalah dan berangkat kembali ke Jenggi Kumawar. 

Ketika sampai di rumah Pengulu,  semua  gadis-gadis di  mengintip dari jendela rumah panggung masing-masing, dan desa pun menjadi gempar karena Pawang Ternalem yang sebelumnya terlihat sangat  buruk rupa, sekarang telah datang kembali dengan penampilan yang begitu menawan.   Beru Patimar pun tidak mampu menahan gemuruh hatinya, dan ingin segera menjumpai Pawang.

Ketika malam tiba, Pawang ditemani Daram saudaranya berkunjung ke rumah Pengulu.  Dan Pengulu mempersilahkan Pawang untuk memberikan nasihat-nasihat dan saling berdialog (siajar-ajaren) satu sama lain.  Ini diperlukan agar keduanya kelak sudah memiliki saling pengertian dan saling mengenal lebih dalam.  Terlebih lebih kedatangan lamaran Pawang tidak dari Ture (beranda/melalui proses pacaran) tapi dari Rumah (melalui proses sejenis perjodohan ).

Impal, aku jelma so begu enggo reh.” (Gadis, aku manusia si mirip hantu sudah datang), kata Pawang sambil duduk di tikar.  Beru patimar bersimpuh disudut lain.  Mendengar suara Pawang yang bergetar, Daram diam-diam surut turun dari beranda dan turun ke Jambur tempat anak muda kampung berkumpul.  Biar mereka punya privasi yang cukup pikir Daram.

Ula bage nindu kaka.  Aku pe erkadiola kal aku perbahan nggo sempat selpat rananku la mehuli.” (Janganlah berkata begitu kakanda, karena akupun sangat menyesali diri atas kelancanganku tempo hari). Kata Beru Patimar menyesali tingkah lakunya setahun yang lalu.  Maka Pawangpun menceritakan riwayat hidupnya, didengarkan Beru Patimar dengan seksama.  Semakin larut malam merayap, semakin dalam rasa simatiknya terhadap pemuda itu, yang hidup penuh derita, penuh perjuangan dan penuh kesabaran.  Dan satu hal yang paling disesalinya adalah sikapnya yang begitu sombong (bhs karo : megombang), sampai mengatakan orang hina seperti pawang tidak layak tidur di tikar, maka digantinya pakai tikar alas kandang ayam.  Kalau misalnya dia disuruh menetapkan apa hukuman atas kesombongannya, dia sendiri  merinding bulu romanya memikirkannya.  Tapi Tuhan maha kasih, Pawang adalah orang sabar dan lapang hati.  Pertemuan malam itu membuat tekadnya semakin kuat untuk mempertahankan perjodohannya dengan Pawang.

Pawang dan Daram sekarang bekerja membuka  lahan baru atas ijin  Pengulu. Setelah pondok kebun selesai didirikan, dan tebasan pertama dan pembakaran telah selesai, Daram berpamitan kepada Pawang karena dia juga harus membantu Ibunya di desa Seberang Hulu.  Tinggallah kin Pawang sendirian merambah belukar itu untuk dijadikan perkebunan kelapa dan memelihara sebagian nipah baik untuk atap rumah maupun untuk daun pembungkus tembakau.  Semua ini tentunya untuk masa depannya dengan Beru Patimar  . Biasanya menjelang tengah hari Bujang datang mengantar nasi dari rumah Pengulu Sedangkan untuk sarapan pagi dan makan malam dibuat sendiri oleh Pawang dengan perbekalan yang telah mereka persiapkan dengan Daram waktu awal merambah hutan.

Pada satu hari, karena Bujang mendapat pekerjaan mengawal Pengulu sesuai jabatannya sebagai Upas, maka oleh Istri Pengulu, disuruh Beru Patimar mengantar nasi ke kebun.  Pawang sudah mengetahui hal itu dari Bujang sehari sebelumnya.  Mengetahui akan kedatangan Beru Patimar, maka timbullah niatnya untuk menggoda gadis idamannya itu. Maka jalan menuju ponduknya ditebarnya dau-daun hutan yang beracun dan gatal seperti daun jelatang, daun siterkem dan rengas.  Pawang menyadari kedatangan Beru Patimar, karena oborolan mereka terdengar ditepian hutan.  Memang betul, Beru Patimar ditemani oleh dua  orang bibinya (saudara perempuan Pengulu).

Ketika melihat banyak sekali daun jelatang disepanjang  pematang menuju pondok Pawang, maka salah satu dari bibi itu berteriak memanggil Pawang.

“Pawang, kami sudah datang dengan Beru Patimar mengantar makan siangmu, jemputlah kami kesini.”  Teriak   bibi Beru Patimar.

“Masuk sajalah, makanannya letakkan di pondok.” Sahut Pawang.

“Tapi daun-daun ini sangat gatal Pawang.  Kami takut kena getah dan miangnya.” Kata seorang bibi.

“Biar si Beru saja yang masuk.  Kalau dia cinta, dia tidak akan terkena penyakit gatal.  Tapi kalau dia pura-pura cinta, pastillah badannya gatal-gatal semua.” Kata pawang.

Maka kedua bibi itu menyuruh Beru Patimar masuk.  Beru Patimar ragu, melihat daun jelatang yang begitu berbisa, dia ngeri.  Belum menyentuh saja, kulitnya serasa sudah gatal semua.

“Abang Pawang jemputlah aku, aku takut.” Ujarnya gemetar mencari pijakan yang tidak terkena daun jelatang. Keringatnya menetes disekujur tubuhnya. 

Begitu dia sampai dipintu ponduk, dilihatnya Pawang sedang membakar ubi.  Pawang menggaitnya untuk masuk, tapi Beru patimar tetap berdiri di pintu dengan bungkusannya.

“Cepatlah, bibi menunggu disana.” Ujarnya. Jantungnya bagai berpacu dengan suara binatang hutan yang menjerit-jerit tengah hari.  Tapi Pawang masih tersenyum, dilepaskannya bulang-bulang (kain pengikat kepala), dan dikibaskannya rambutnya jatuh dibahu.

‘Kau tidak ingin tahu, sampai dimana bakal batas kebun kita?” tanya Pawang.

“Sekuat satu orang laki-laki bekerja.  Karena aku tidak pandai berkebun.” Ujar Beru Patimar.  Hatinya berbunga-bunga mendengar  perencanaan kebun itu.  Kebun kita berdua, begitulah berngiang-ngiang di telinganya.

“Antar aku keluar, aku takut daun gatal ini.” Ujar Beru Patimar.

“Itulah, ujianmu tidak lulus.  Mengapa kamu merisaukan daun berserakan ini.  Bukankah dengan  seikat ranting semak kamu bisa menyingkirkannya?” ucap Pawang.  Lalu diambilnya dua batang perdu, diikat jadi satu, dipotongnya ujungnya menjadi rata, kemudian disapukannya ke jalan masuk pondok itu, sehingga semua daun telah tersingkir.  Beru Patimar merasa sangat tolol, ketika dilihatnya pemecahan masalah yang dibuat Pawang sangat sederhana.  Tapi dia hanya melengos, dan bergegas menemui bibinya.  Sebenarnya kedua bibinya itupun tahu hal tersebut.  Tapi sesuai pesan Pengulu, Beru Patimar harus didik lebih dewasa dan lebih bertanggung jawab.  Malam itu Beru Patimar bermimpi  jumpa Pawang.  Dalam mimpinya, terhampar daun jelatang yang sangat luas, dan Pawang menggendongnya menyeberangi daunan yang gatal itu.  Beru Patimar merangkul pemuda itu dengan mata terpejam. Ia tertidur sambil tersenyum. (BERSAMBUNG)

Kamus:

 

Oleh: Sony | September 24, 2008

PAWANG TERNALEM (Bagian Keempat)

DENDAM TERBALASKAN

 

Sudah lima malam berturut-turut, Pawang meniup surdamnya diatas pohon Tualang Simande Angin.  Dan tentang kejadian itu sudah terdengar ke seluruh pelosok kampung bahkan sampai ke kampung-kampung disekitar Jenggi Kumawar.  Semua orang membicarakan tentang janji Pengulu Jenggi Kumawar.  Siapa gerangan orang yang akan menurunkan madu lebah  dari pohon Tualang Simande Angin.  Beru Patimar pun sudah mulai gelisah, ingin mengetahui seperti apa sosok orang yang akan menjadi calon suaminya itu.

Maka ketika malam keenam tiba, dia bersama gadis-gadis lain dan beberapa ibu, sambil bercanda di beranda rumah Pengulu, menanti suara surdam yang sangat memilukan itu.  Dan sebagaimana malam sebelumnya, suara surdam itupun mulai terdengar.  Namun suara surdam itu malam ini berubah menjadi irama alunan perang.  Rupanya Pawang sedang memerintahkan beberapa ekor lebah mendatangi rumah Pengulu, dan  lebah itu telah terbang menuju beranda rumah Pengulu, serta merta menyengat bibir Putri Beru Patimar bagian atas.  Kontan Beru Patimar menjerit-jerit kesakitan, dan merekapun kebingungan melihat jerit rintih Beru Patimar.  Menjelang tengah malam, suara surdam itupun berhenti.  Pengulu dengan isterinya sibuk mencari obat penawar bisa sengatan lebah Tualang Simande Angin.  Tatakala subuh tiba, rintihan Beru Patimar mulai melemah.  Bibirnya membengkak sampai ke kelopak matanya.  Wajahnya begitu menyedihkan dan menggelikan.  Sungguh tidak ada terlihat bekas wajah yang cantik tapi judes itu.  Yang terlihat hanya wajah kesakitan dengan raut wajah membulat seperti balon.  Setiap kali teman-temannya yang datang menjenguk tertawa geli melihat bentuk wajahnya, dia pun makin jengkel dan putus asa.  Beberapa tabib dan dukun telah diundang, tapi pengaruh racun sengat lebah itu tidak bisa segera dihilangkan.

Maka malam ketujuh, malam bulan purnama, tibalah saatnya Pawang menurunkan kepala madu lebah Tualang Simande Angin. Dipancungnya sarang lebah itu sepertiga dari bawah, yang konon berisi lebah berwarna putih susu.  Kemudian besok pagi disuruhnya si Daram megantarkan kepala madu itu berikut carangnya ke rumah Pengulu Jenggi Kumawar.  Semula Beru Patimar  menyangka si Daramlah yang menurunkan kepala madu itu.  Tapi mendengar percakapan dengan ayah dan ibunya, barulah dia tahu bahwa ada orang lain, yakni saudara sepupu si Daram.  Si Daram menjanjikan  besok senja seluruh madu dari Tualang akan diturunkan dan akan diantar ke rumah Pengulu sekali gus menunaikan janji Pengulu tentang perjodohan anaknya Beru Patimar.  Disamping itu, si Daram juga menyampaikan pesan bahwa orang yang menurunkan madu ini akan membawa obat atas penyakit Beru Patimar.  Beru Patimar sendiri karena malu, tidak mau menjumpai si Daram di beranda rumah.

Dia merasa senang sekaligus kebingungan dengan keadaannya.  Bagaimana dia besok menjumpai sang teruna itu, dengan wajah bengkak dan bibir monyong begitu.

Keesokan harinya, berangkatlah Daram dengan dua orang pemuda desa Seberang Hulu, diiringi Pawang Ternalem, membawa madu Tualang Simande Angin ke rumah Pengulu.  Disana tua-tua adat telah menunggu demikian juga penduduk sekitar rumah pengulu.  Maka diserahkanlah (enem tongkap tengguli lebah ras dua ndiru cambang aringgenang) madu itu dalam enam bumbung bambu, serta cangkang madu dua gugus, sebagai tanda pemenuhan persyaratan untuk melamar Putri Beru Patimar.    Maka tua-tua kampung itu bertanya : Ndigan reh sangkep nggeluhndu,  entahpe kin anakberundu guna ngarihken perjabundu ras Beru Patimar (Kapan utusan keluargamu datang untuk membicarakan perihal pelamaranmu terhadap  Beru Patimar).  Maka jawab Pawang, berhubung karena dia anak yatim piatu, sementara kakeknya tinggal ditempat yang sangat jauh, maka untuk urusan melamar akan dilakukannya sendiri, dan yang mewakili  orang tua adalah gurunya  Datuk Rubia Gande.   Kemudian dia minta dapat bertemu dengan Beru Patimar untuk mengobati sakitnya.  Pada awalnya Beru Patimar sangat keberatan untuk keluar, tapi karena rasa ingin tahu tentang siapa pemuda yang akan menyuntingnya itu, dia pun keluar.  Begitu dia melihat pemuda itu, diapun teringat dengan perjumpaannya setahun sebelumnya.  Maka diapun menolak mentah-mentah.  Dia tidak mau dipertunangkan dengan manusia yang tampangnya lebih buruk dari hantu.  Tapi janji raja harus ditepati,  sebab kalau raja sudah tidak menepati janjinya. Bagaimana dengan rakyat.  Maka dengan berat hati, keluarlah Beru Patimar dari kamar,  menghadap laki-laki buruk rupa itu.  Maka Pawang pun mengusapkan telapaknya ke wajah gadis itu, menyerap racun lebah yang telah menyengatnya, dan sesaat mulailah kempes, dan rasa nyeri yang berdenyut berangsur hilang.  Lepas magrib, Pawang minta pamit, dan menjanjikan  sebulan kedepan, dia akan haduir bersama gurunya untuk menuntaskan rencana perkawinannya.  Beru Patimar  telah sembuh dari sakit sengat lebah, dan mengenang jasa pemuda itu dalam menyembuhkan penyakitnya, senang juga hatinya.  Namun jika dia teringat dengan wajah buruk pemuda itu, rasa kecewanyapun semakin membekas.

Sehari setelah penyerahan madu itu, Pawang berpamitan kepada bibinya,  untuk segera menuju Srenggani, melaporkan rencana perkawinannya.  Maka malam itu juga dengan menunggangi si Rimau, dia segera sampai di pertapaan.  Dijelaskannya semua duduk perkara perjodohan itu, yang semula dilatar belakangi penghinaan yang amat sangat.    Tapi Datuk Rubia Gande tidak menunjukkan rasa gembira.  Wajahnya mendung  dan sangat-sangat murung.  Melihat wajah gurunya begitu murung, Pawang menjadi tegang, dan cemas.

“Apa kiranya  sebabnya Datuk merasa gundah.  Apakah memang aku tidak diijinkan mempersunting anak pengulu itu ?” tanyanya.

“Bukan itu masalahnya.  Perhitungan hari kelahiranmu dengan gadis itu tidak serasi. Halngannya besar. Besar sekali.  Karena kalau dipaksakan perkawinan ini, usianya tidak lama . Artinya  salah satu diantara kamu akan mati.” Ujar Datuk.

“Apakah tidak ada jalan keluar Datuk ?” tanya Pawang cemas.

“Ada,  kau harus diuras, pulahi kahul, persilihi.  Untuk semua ini  membutuhkan waktu satu musim.”  Ujar Datuk.

“Biarlah Datuk. Saya bersedia melaksanakan itu semua.” Kata Pawang. Maka esok harinya Pawang disuruh mengumpulkan bahan penyamak agar semua getah-getahan dibadan dan rambutnya dilepaskan.  Siang harinya  Pawang dibawa ke pancuran di tepi Srenggani, dan oleh Datuk dicucilah semua  samak biring yang melapisi kulit Pawang demikian juga dengan rambutnya, sehingga rambutnya semula gimbal kini halus terurai dan kulitnya yang semula hitam legam telah berubah menjadi sawo matang.  Maka Pawang Ternalem telah berubah menjadi pemuda yang gagah dan tampan.

(Bersambung).

Kamus:

Tongkap  : Bumbung bambu biasa untuk menampung air nira.

Ndiru         : Alat penampi, Niru, Tampah (terbuat dari anyaman bambu).

Sangkep nggeluh : Unsur-unsur dalam adat, keluarga.

Anak beru              : Bagian pesuruh secara adat.

Diuras                      : Diupah-upah, mandi pembuang sial.

Pulahi Kahul         : Buang nazar, berupa pelepasan hewan di tempat tertentu/keramat sebagai pembayar roh yang hidup.  Biasanya yang dilepas adalah ayam jantan putih atau kambing putih.

Persilihi    : Upacara melepaskan semua penghambat keberuntungan, buang sial.

Oleh: Sony | September 23, 2008

PAWANG TERNALEM (Bagian Ketiga)

MENYINGKAP TIRAI JODOH

 

Setengah hari perjalanan dari Jenggi Kumawar ke Desa Seberang Ulu, Pawangpun sampai di rumah bibinya.  Kematian pakcik yang menjadi sumber kedukaan bibinya selama ini, tersentuh kembali dengan kedatangan Pawang.  Pawang dan Daram saudara sepupunya berusaha menghentikan tangis bibinya yang semakin terlara-lara.

MODEL RUMAH PENGULU JENGGI KUMAWAR

MODEL RUMAH PENGULU JENGGI KUMAWAR

 

 

 

 

“Kita harus kembali ke dunia nyata bi.  Kematian Pak Cik adalah sesuai dengan suratan tangannya. Aku dan Daram masih bisa membantu bibi, menjaga bibi.  Toh aku juga tidak mempunyai siapa-siapa.  Ayah dan ibuku bahkan tidak bisa kubayangkan bentuk wajahnya.” Ujarnya. Si Bibi juga dapat memaklumi keadaan Pawang, dan dia ingin Pawang dan Daram dapat menjadi saudara sejati dalam suka dan duka, dalam untung dan malang.

Begitulah, selanjutnya Pawang tinggal di desa itu.  Orang-orang melihat Pawang sebagai orang yang buruk rupa, tapi rajin dan baik hati.   Beberapa kali Daram berkelahi dengan pemuda kampung karena tak tahan dengan ejekan orang orang atas kejelekan saudaranya.  Tapi Pawang selalu mengingatkan bahwa  kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah.  Mendengar nasehat abangnya, Daram pun mengalah.  Tapi dia kadang-kadang tidak habis fikir, abangnya yang sakti itu kok diam saja diolok-olok dan dipermalukan orang.  Bahkan dia pernah mempertanyakan masalah itu kepada pawang.  Tetapi Pawang diam saja dan menyimpannya didalam hati.

Sudah menjadi kebiasaan Pawang mengambil madu dari hutan untuk dimakan dan dijual kepada pedagang yang datang ke desanya.  Semenjak kehadiran Pawang, keadaan ekonomi mereka membaik, karena Pawang dapat memberikan penghasilan dengan mengambil hasil hutan yang nampaknya ringan seperti madu, getah jelutung dan kulit-kulit kayu yang dibutuhkan para pedagang.

Setahun keberadaan Pawang di desa Seberang Hulu, tibalah musim panen.  Musim panen bersamaan dengan musim berbunga tanaman hutan, dan musim madu.  Salah satu sarang madu yang sangat terkenal adalah madu dari lebah yang bersarang pada sebuah pohon ditepi  kampung Jenggi Kumawar yang dikenal dengan nama Pohon Tualang Simande Angin.  Pohon Tualang ini memang sangat tinggi, mencapai  lima puluh depa orang dewasa.  Maka setiap kali angin berhembus, dia akan bergoyang, maka disebut Tualang Simande Angin.

Mundur kisahnya  tiga tahun kebelakang, tatkala Putri Beru Patimar berumur tujuh belas tahun, oleh  Raja Pengulu Jenggi Kumawar sudah diumumkan bahwa siapa saja  pemuda yang mampu menurunkan kepala madu Tualang Simande Angin ke hadapan raja, maka dia berjodoh dengan Puteri Beru Patimar.  Dan musim panen yang keempatlah saat Pawang sudah tinggal setahun di Desa Seberang Hulu. Maka diceritakannya lah niatnya hendak menurunkan madu dari Tualang Simande Angin, sebagai modal untuk menundukkan Beru Patimar.   Mendengar kemauan kemanakannya, si bibi sangatlah gundah hatinya.  Karena mengambil madu dari Tualang Simande Angin sama dengan menyerahkan nyawa. Sudah berpuluh puluh pemuda yang terhempas jatuh dari pohon itu,  membuang nyawa demi memperebutkan Putri Beru Patimar yang cantik jelita itu.  Lagi pula bibinya berfikir, bagaimana mungkin kemanakannya yang jelek itu disandingkan dengan gadis cantik puteri raja.  Tapi tekad Pawang sudah bulat, dan pas ketika bulan sudah besar, jalan desa terang benderang. Pawang  mengajak Daram berangkat menuju Tualang Simande Angin dengan membawa surdam.

“Bukannya kita bawa parang, abang malah membawa surdam?” tanya daram keheranan.

“Ayolah ikut saja, nanti disana semuanya akan menjadi mudah.” Bujuk Pawang.

Ktika sampai  ketempat yang dituju, Daram merinding ketakutan, karena begitu banyak tengkorak berserakan disekeliling pohon itu.

“Bang, kalau abang naik keatas, aku tidak berani disini sendirian. Begini banyak tengkorak berserakan, pastilah arwahnya menjadi hantu penasaran, bergentayangan.” Ujar Daram.  Pawangpun memaklumi perasaan saudaranya, maka diantarnyalah Daram kembali ke Kampung.  Kemudian dia kembali ke Tualang Simande Angin ditemani Si Rimau yang telah ikut bersama Pawang saat terakhir Pawang mengambil madu di hutan.  Lagipula, sebenarnya kepulangannya kerumah karena ia lupa membawa benang arang.

Begitu Pawang sampai di pohon itu, bulan sudah naik cukup tinggi, maka oleh Pawang dilemparkannya tulang benang arang itu keatas pohon, maka tiada lama kemudian bibi si Beru Jerai Nguda sudah ada diatas pohon itu sambil tertawa halus.

“Anakku,  hari ini engkau memanggilku tanpa perjanjian. Ada apa yang engkau perlukan?” tanya bibi  dari atas dahan Tualang.

“Bibi, aku hendak naik keatas pucuk Tualang Simande Angin ini, tolong bibi tahan angin yang kencang ini supaya diam.  Supaya aku dapat naik dengan selamat.” Demikianlah permohonan Pawang kepada bibinya. Maka si beru Jerai Nguda meluncur ke pucuk pohon dan disapanyalah angin sikaba-kaba agar berhenti sejenak. Melalui benang arang yang telah ditarik sempai ke pucuk Tualang, Pawang memanjat dampai dahan terakhir, mencari tempat duduk yang nyaman.  Kemudian ditiupnya surdamnya dengan penuh perasaan, terlebih-lebih teringatlah dia dengan nasibnya yang sangat malang.  Terdengarlah suara surdam itu ke seluruh penduduk Jenggi Kumawar.  Keluarlah para gadis-gadis dan ibu-ibu dari rumahnya, berjumpa satu sama lain membicarakan kemerduan dan kesyahduan suara surdam itu.  Penuh rasa pilu dan menyayat hati.

“Siapakah gerangan yang meniup surdam itu, terharu hatiku dibuatnya.” Kata seorang ibu kepada yang lain.

“Nampaknya dia mengalami hidup yang sangat menyedihkan.  Iramanyapun mendayu-dayu sangat menyayat hati.” Kata yang lain.

Sejenak Pawang berhenti meniup surdamnya, dipandanginya seluruh hamparan kampunh dan sawah serta hutan dikejauhan.  Ke arah Barat terlihat awan putih dikaki langit ditimpa cahaya rempulan, terkenang akan nasibnya ditinggalkan ayah dan ibu.  Hidup terbuang, sampai di tanah rantau Jenggi Kumawar, mendapat hinaan yang sangat menyakitkan.  Tanpa disadarinya menetes air matanya didalam keremangan sinar rembulan. Dan bersenandunglah dia dengan penuh pilu.

“Oh ayah, ibu…..yang tak sempat kukenal,  kurasakan hidupku ibarat i sebatang pohon pisang yang hampir mengering ditengah ladang yang sudah ditinggalkan pemiliknya, daunku compang camping diiris iris angin, pucuknya hangus dibakar matahari, putiknya kuncup tak berisi, jantungnya mengecil menciut,  keberadaanku yang menyendiri menyesali nasib yang telah digoreskan sang maha pencipta.” 

Hampir semua ibu ibu yang turun ke bereanda rumah mengusap air mata, terharu dengan senandung yang sangat memilukan itu.   Lewat tengah malam, Pawang turun kembali, dan pulang ke rumah bibinya. Dia tidak mengambil apa-apa dari pohon Tualang Simande Angin itu.

Malam berikutnya, dia kembali memanjat pohon itu, dan para gadis gadis dan ibu ibu yang mendengarkan suara surdam itu, seharian membicarakannya, dan tentunya menunggu lagi malam berikutnya. Malam ini Beru Patimar ikut keluar dari beranda rumahnya, ditemani beberapa gadis.  Dengan seksama mereka mendengarkan suara surdam itu, dan kembali ada bilang-bilang yang semakin menyayat hati.  Tak terasa airmata Beru Patimar pun menggenang, mau diusap dia malu, tapi kalau dibiarkan menetes juga nanti ketahuan.  Maka dikucek-kuceknya matanya. “Ih…nyamuk nakal, masak masuk ke mata.” Ujarnya.  Tapi teman-temannya tahu bahwa Beru Patimar juga terhanyut dengan buaian suara surdam itu.

“Bilang saja sedang terharu. Nggak usah malu.” Kata kawannya.  Tapi dia menyangkal, dan pura-pura tidak tertarik dengan suara surdam itu.  Merasa kalah dari teman-temannya maka diapun cemberut dan masuk kedalam rumah.  Tapi hatinya bertanya-tanya, siapa kira-kira yang sanggup menaiki Tualang Simande Angin itu ?  Apakah jodohku sudah dekat ? Begitulah hatinya berkecamuk, dan malam itu dia tidak tertidur sampai subuh. (BERSAMBUNG)

Kamus:

Surdam : sejenis seruling terbuat dari bambu

Bilang-bilang: nyanyian yang isinya mengenai derita hidup / semacam           pengaduan nasib malang kepada Tuhan.

Oleh: Sony | September 23, 2008

PAWANG TERNALEM (Bagian Kedua)

MENJADI MURID DATUK RUBIA GANDE

 

Setahun sudah, Pawang berguru kepada Datuk Rubia Gande di air terjun Srenggani.  Kini dia dilatih oleh Datuk untuk mengenali rimba dengan segala penghuninya.  Di rimba, banyak binatang yang menurut manusia tidak baik didekati.  Misalnya harimau, ular, buaya, dan binatang-binatang lain yang kerap diandaikan mempunyai sifat yang membahayakan bagi manusia.  Tapi Pawang dalam perkembangan kedewasaannya, semakin akrab dengan segala jenis binatang rimba.  Dan pemahaman itu juga dikaitkan dengan pengenalan akan tumbuhan liar di rimba.  Contohnya, pohon jelatang, ada juga yang mereka sebut pohon siterkem yang getahnya sangat beracun dan dapat membuat tubuh kita hangus berborok. Lainnya misalnya buah enau,  bergetah sangat gatal.  Dan kalau kita terkena getah buah enau, obatnya adalah diusap pakai ijuk enau itu sendiri.  Beribu-ribu jenis tumbuhan yang merupakan racun sekali gus obat yang dipelajari oleh Pawang, sehingga dia tidak pernah ragu sekalipun ular lidi yang sangat berbisa itu menggigitnya.  Tubuhnya juga sudah dikebalkan terhadap racun, dengan meminum ramuan daun dan kulit kayu yang direbus dengan periuk tanah.  Pawang sudah menammatkan empat tingkatan yakni  ilmu pencak silat, ilmu berkomuninkasi dengan binatang rimba,  ilmu pengenalan tanaman yang bersifat racun dan obat serta ilmu filsafat atau adat istiadat hidup bermasyarakat.  Rimba belantara itu sudah menjadi rumah yang indah bagi Pawang.  Dan semua ilmu itu didapatkan karena persahabatannya yang sangat baik dengan si Rimau, macan yang belangnya menyatu di pusar, yakni Harimau Kembaran saudara kembar nenek moyangnya.  Ilmu silatnya sudah matang berkat ketekunannya berlatih dengan si Rimau, kadang-kadang dia terluka oleh cakaran macan itu, tapi segera bisa disembuhkan karena obatnya sungguh banyak di hutan.

Empat puluh purnama sudah dijalani, tibalah saatnya berpisah dengan Datuk. Bagaimana dengan si Rimau ? Kalau si Rimau dibawa ke kota, pastilah gempar.  Orang-orang akan ketakutan dengan kehadiran raja rimba itu. Maka keberangkatan Pawang meninggalkan Srenggani, menuju desa Sapo Padang yakni perjumpaan  Lau Biang (Sungai Wampu) dengan Lau Simbelin.  Disana ada dataran tempat kakeknya bereta keluarga yang lain menanam kelapa, nipah, nangka dan tanaman yang dibutuhkan sehari-hari.  Disana juga ada pertapaan, tempat kakek Pawang (Penghulu Tanah Ketangkuhen) menimba kesejatian hidup.  Ada juga Pancur Perpangiren, sebuah taman bunga-bungaan dan daun-daunan dengan tiga buah pancuran yang berair sejuk, yang airnya kemudian mengalir ke sungai.  Daun-daunan itu disebut juga bulung-bulung simalem-malem sedangkan bunga-bungaan itu disebut rudang-rudang simelias gelar  sebagai kelengkapan dalam upacara memberikan kehormatan kepada nenek moyang yang telah mewariskan kehidupan.  Hampir setahun lamanya di pertapaan itu, Pawang mendapat pendidikan lanjutan dan pewarisan seluruh harta, ilmu, dan pengetahuan termasuk sejarah dan pusaka Sembiring Kembaren dari Dusub Ketangkuhen yang masih tersisa.  Ada pusaka yang sangat dia dambakan yakni pusaka yang dibawa oleh ayah Pangeran Kembar (yang kemudian menjadi Simbiring Kemaren) dari negeri Sriwijaya, yakni Pisau Balabari dan Cap Sembilan (pisaunya berbilah dua atau kembar dan cap  sembilan berbentuk bintang dengan sembilan sudut runcing). Pusaka itu konon  dititipkan  di Danau Toba, ketika mereka berkunjung ke rumah Silalahi Raja di Silalahi dekat Paropo di tepian Danau Toba sebagai tanda persaudaraan. (Kenyataannya, Sembiring Kembaren sampai saat ini tetap diakui saudara oleh keturunan Silalahi Sabungan atau bermarga Silalahi).  Semua harta benda itu diterima Pawang Ternalem, dan disimpan kembali di pertapaan.  Setelah Pawang merasa cukup, maka diapun berangkat menelusuri Lau Biang,  menuju pusat kerajaan Haru.    Sampai di pusat kebudayaan itu, dia bertanya kepada pedagang garam tentang keberadaan  bibinya yang dulu pernah hendak menjemput dia dari kampung pada masa kecil.  Menurut pemberitahuan kakeknya, suami bibinya itu adalah pedagang garam dan  sirih pinang di kota Haru.  Menurut informasi dari para pedagang sirih pinang, suami bibinya itu telah meninggal dunia. Bibinya bersama seorang anaknya bernama Ndaram pindah ke Kerajaan kecil (kejurun) bernama Jenggi Kumawar ditepian Lau Bingei ( Sungai Bingei).  Maka berangkatlah Pawang menuju Kejurun Jenggi Kumawar menembus hutan antara au Biang  dengan Lau Bingei.  Begitu dia sampai di desa itu, dia langsung menuju rumah  Pengulu (raja).  Ketika dia mau naik ke beranda rumah itu,  dan berhadapan dengan seorang gadis, yang sangat cantik jelita. Begitu terpesonanya Pawang dengan kemolekan gadis itu, sehingga  ia sampai terbengong, dan lupa memberi salam.  Gadis itupun  melihat Pawang terperangah, dan tiba-tiba lari  tergopoh-gopoh  melalui tangga yang lain dan menjerit-jerit minta tolong.

“Toloooong, tolooooong ada hantuuuuuuuuu.” Katanya menjerit-jerit.

Mendengar jeritannya, maka keluarlah Pengulu Jenggi Kumawar, karena ingin tahu apa sebabnya anak gadisnya menjerit-jerit. Dihadapannya berdiri seorang laki-laki hitam rembutnya gimbal kulitnya berkerak bersisik, memang mirip dengan hantu.  Sambil meletakkan bungkusannya Pawang memberi hormat.

“Sentabi Raja, aku Pawang Ternalem, seorang pengembara, minta ijin menumpang satu malam ini karena hendak mencari sanak saudaraku di negeri tuan ini.” Ujarnya sambuil mengaturkan sembah secara orang Melayu. 

“Mari, silahkan naik kerumah.” Kata Pengulu Jenggi Kumawar. Kemudian dipanggilnya su Bujang, pembantunya untuk memanggilkan  iasterinya dan anaknya. Rupanya isteri Pengulu ikut keluar dari belakang mengejar Putri  Beru Patimar, yang telah masuk ke rumah tetangga.  Tanpa kesulitan si Bujang sudah mengetahui kemana kira-kira gadis itu pergi. Maka tak lama kemudian dia telah berhasil membawa anak gadis bersama ibunya naik  kerumah.

“ Ini isteriku, dan ini anakku namanya Putri Beru Patimar.” Ujar Pengulu memperkenalkan anak dan istrinya.  Pawang menghaturkan sembah, tapi putri Pengulu itu tidak mau mendekat.  Ditunjukkannya rasa tak senang menjurus jijik melihat penampilan Pawang.   Pada zaman itu, rumah Penghulu memang tempat menumpang berteduh dan menginap bagi pengembara.   Jadi wajar saja rumah Pengulu didatangi tamu dari luar desa.

“Tolonglah kalian masakkan makan malam kita.  Biarlah si Bujang mengambilkan ikan di kolam.” Kata pengulu.   Maka berangkatlah si Bujang ke kolam.  Rupanya  Pawang ingin tahu juga bagaimana cara si Bujang menangkap ikan, maka merekapun berangkatlah berdua.

Sepulang dari kolam, dirumah tinggal Putri Beru Patimar sendirian.  Sedangkan Pengulu jenggi Kumawar dengan isterinya berangkat ke desa sebelah mengadakan rembugan kenduri besar ahir panen.

Begitu jijiknya Putri Beru patimar kepada Pawang, sehingga dia menghidangkan makan untuk Pawang dengan Pelangkah Biang (tempat makanan anjing  peliharaan), dan malamnyapun disuruh tidur dengan Apar-apar Lipo (tikar alas kandang ayam).  Pawang menerima penghinaan ini dengan ikhlas.  Keesokan harinya, subuh-subuh dia telah ikut membantu Bujang membelah kayu untuk kayu bakar.  Kemudian, setelah diberi Putri Beru patimar dia sarapan pagi dengan Pekangkah Biang itu, diapun mengambil bungkusannya dan mohon pamit kepada Pengulu. Rencananya akan pergi ke perladangan diseberang sungai, karena dia mendengar bahwa bibinya dan saudara sepupunya itu tinggal disana. Maka berangkatlah dia, dengan perasaan teraduk-aduk, antara kekagumannya atas kecantikan Putri Beru Patimar, dan sakit hatinya diperlakukan seperti binatang. (Bersambung)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Older Posts »

Kategori