Oleh: Sony | Januari 20, 2009

Pawang Ternalem (Bagian ke Delapan)

MALAM PENGANTIN

 

 

                             Maka berangkatlah  Pawang Ternalem dengan dua orang pengantar bersama beberapa orang anak beru  ke rumah Pengulu Jenggi Kumawar untuk menjemputnya.  Peristiwa ini didalam urut-urutan  adat disebut baba nangkih.  Maka dengan berpura-pura tidak tahu Pengulu Jenggi Kumawar dengan istrinya pergi ke rumah saudaranya di kempung seberang sungai, dan ditinggalkannya di rumah panggung saudara perempuannya, untuk mempersiapkan barang-barang yang harus dibawa Bru Patimar bersama  dengan Pawang Ternalem.   Rombongan itu hanya sebelas orang,  dan subuh mereka berangkat dari Jenggi Kumawar, dan ketika maghrib baru tiba di desa Lau Simbelin, kampung kakek Pawang.  Disana sudah menunggu sanak saudara  Pawang Ternalem, termasuk ibunda si Ndaram saudara ibunda Pawang Ternalem.  Upacara penyambutan dilaksanakan secara sederhana, yang diakhiri dengan makan malam, (tata upacara ini akan dibuat posting tersendiri).

 

         Pada saat makan malam ini, Pawang dengan Bru Patimar di suruh duduk berdua didalam kamar, dan disuguhi masakan  ayam yang telah diolah sedemikian rupa, lengkap dengan nasinya, dalam satu piring.  Pertama, keduanya disuruh saling menyuap dengan sejemput nasi, secara bersamaan.  Kemudian diawasi oleh bibi Pawang, mereka disuruh makan sekenyang-kenyangnya.  Beberapa nasihat yang diucapkan bibi itu antara lain, jangan gigit tulang ayamnya, jangan makan sayapnya, supaya kamu jangan suka kluyuran, jangan makan cekernya, supaya rejekimu jangan seperti rejeki ayam, mengais dulu baru makan.  Yang paling dianjurkan kepada Bru Patimar adalah makan telur rebusnya yang memang diletakkan ditengah-tengah maskan itu.  Supaya menjadi ibu yang baik, seperti induk seekor ayam, biar anaknya berbulu putih, berbulu hitam, lurik lurik atau bintik bintik, semua dinaunginya dibawah sayapnya.  Pawang disuruh makan paha ayam, biar kuat bekerja, kuat menopang  harga diri dan martabat keluarga.  Kalau hatinya, juga jangan, supaya tidak perate-ate (manja dan mau menang sendiri), tapi hati ayamnya berikan saja kepada bibik-bibik itu.  Mereka senang karena daging hati ayam lunak, dan memang itu yang enak bagi orang yang sudah ompong he..he..he..

 

                    Selesai makan, mereka disuruh istirahat didalam kamar, dan bibi-bibi itu bergegas mengeluarkan piring, mangkok tempat cuci piring dan gelas minuman.  Tapi kemudian disorongkan kedalam minuman berupa tuak dalam bumbung bambu.  Trus kamar itu dikunci dari luar.  Mereka berdua berpandang-pandangan.  Ada celah dinding papan itu untuk mengintip, dan nampak keluarga Pawang Ternalem sedang bercakap-cakap kesana kemari tidak tentu topik.  Adang-kadang saling berdebat, bercanda ejek mengejek, dan tertawa bersama-sama.  Pawang masih mengenang pesan gurunya, jangan terlalu hanyut dengan perasaan.  Kamu harus mampu menahan diri.  Sementara saudara sepupunya, sehari sebelum mereka berangkat ke Jenggi Kumawar, ketika mandi di pancuran mengatakn, begitu sampai nanti di rumah, kamu harus mengambil kegadisannya, supaya tidak ada lagi ikat-ikat bathin dengan laki-laki manapun, entah itu yang mencintai apalagi yang dicintai Bru Patimar selain kamu.  Diliriknya Bru Patimar yang sedang bersujud dihadapannya, merenung manatap jalinan tikar pandan.  Lalu diangkatnya wajahnya menatap Pawang dan tersenyum.

 

“Nggak diminum air niranya bang?” tanya Bru Patimar.

“Sebentar lagi, perutku masih kenyang.” Jawab Pawang sambil tersenyum.  Ditopangkannya tangannya ke dagu, dan ditatapnya mata Bru Patimar dalam-dalam. Pawang masih tersenyum, dan diusapnya keringat di dahi pengantinnya.

 

  Gadis itu tertunduk, kemudian menatap Pawang lagi. Kemudian dia mengangguk.  Nampaknya anggukan itu tidak untuk Pawang Ternalem tapi untuk dirinya sendiri.  Dia percaya, bahwa kembang yang selama ini dijaganya dengan sebaik-baik kemampuannya, yang sudah dalam dua tahun ini diyakininya untuk dipersembahkan kepada kekasihnya Pawang Ternalem.  Ya, memang sekaranglah waktunya.   

                        Maka ditengah senda gurau sanak keluarga diluar, mereka memadukan kemurnian jiwa, bagai lagu seruling yang mengalun lembut dari lembah.  Pawang menapak dari  kaki bukit, mendaki lereng sampai kelembah yang lembab dan berembun, dan dalam pendakian yang samakin menguras tenaganya langkah-demi langkah terayun sambil merayap di sela bukit kemuning  yang berubah rona merah memayang  dengan geraian rambut diubun-ubun berayun ayun bagai selendang berkibar disaput fajar.  Rona pelangi memancar dari bola matanya, beralun tarian naga  bersahut-sahutan bagai alu bertalu-talu menumbuk lesung, dan pias-pias padi terpancar dari bibir lesung tersentuh.  Riak-riak yang semula memercik riang, berubah jadi ombak mengelombang timpa menimpa dalam badai yang semakin dahsyat.  Jiwa mereka luluh lebur jadi satu dalam keheningan dan kesenyapan.  

                          “Engkau belum membayar utang adat kepada ayah bundaku dan sanak kadang orang beradat, ingat itu dan serahkan bukti persembahanku itu kepada keluargamu, supaya tahulah mereka melunaskan hutangnya.” Kata Bru Patimar kepada Pawang.  Pawang mengangguk dan mencium kening istrinya.  Lalu diketuknya pintu kamar yang terkunci dari luar itu,  sedikit terbuka, disorongkannya genggaman kain tenun putih itu, disambut sang bibi dari luar, dan pintu kamar terkunci kembali.  Besok pagi kain itu dengan uang emas atau perak akan diantar ke rumah Pengulu Jenggi Kumawar, bahwa pernikahan telah dilaksanakan dengan selamat, dan utang adat akan dibayar setelah selesai musim panen.

 

                         Istrinya menatap wajah yang terpejam itu.  Dalam hati dia berkata, apapun kelak yang terjadi, aku akan mengikutimu, kemanapun, dalam keadaan apapun, sampai maut memisahkan kita.  Sementara Pawang berbisik dalam hatinya, Bunda, aku sama sekali tidak mengenal engkau, karena pertemuan kita hanya selama empat hari, maka kini aku telah menemukan gantimu, restuilah kami dari tempat peristirahatanmu, biarlah keluarga kami  kelak menjadi keluarga sebagaimana pernah ada dalam cita-citamu.  Dan ketika dia membuka matanya, dilihatnya wajah Bru Patimar bersinar bagai rembulan.   

                  Keesokan harinya, ketika cahaya matahari menembus lubang dancelah dinding kamar, Pawang Ternalem terjaga dan terbangun.  Tapi Bru Patimar sudah tidak ada disisinya.  Dan ketika dia keluar dari kamar, dilihatnya istrinya sudah pulang dari pancuran, dan tengah menyisir rambutnya yang panjang.  Pawang tersenyum dan bergumam dalam hati, dia telah ada disebelah diriku.  Lalu diapun bergegas ke pancuran mandi dan mengikrarkan janji hati, untuk berjuang bagi sebuah keluarga bahagia.


Tanggapan

  1. Waduh …. ini episode untuk 24 tahun ke atas, Bang … hehehe. Harus gitu ya, ada bukti di kain tenun putih? Walah …. (aku kok susah membayangkan melakukan ‘tugas’ seperti itu dengan demikian banyak orang di luar kamar … hihihi).

    Btw, Bang Sis dulu juga gitu ya? 😀 😀

    Sis:
    Masalah noda itu, gampang ajalah, ya darah ayam atau air sirih atau obat merah kan bisa. Itu prosedur adat zaman dulu.
    Kalau aku (kami) kan diberkati di gereja, ya nggak ada dong yang gitu-gituan.

  2. Wah ceritanya seru2 ya.., numpang baca2 dulu om..

    Sis:
    Silahkan masuk, dan lihat-lihat umah kami ya.

  3. Hmmmm…orang jawa bilang…ora ilok…..kalau ada cerita untuk orang dewasa di ceritakan…
    Tapi ini pelajaran kesehatan reproduksi…begitu ya pak ….paling tidak,,,agar kita memahami makna..kain tenun putih itu sangat berharga….

    Sis:
    Apakah menurut Mbak Dyah, caraku bertutur ini “ora elok”, kenapa ya ? Padahal menurut pendapatku, ungkapan-ungkapan yang ada pada postingan ini adalah rangkaian seni sastra yang memang demikianlah sopan santunnya cara tradisional, (sastra bertutur). Bagian ini harus diungkapkan, karena pada prosesi adat berikutnya (Nggalari Utang Adat Man Kalimbubu), akan dipertanyakan oleh pihak orang tua perempuan tentang kepenuhan persyaratan si Bru Patimar menjadi Ndehara (ibu dalam keluarga), sebelum mereka menerima utang adat.
    Untuk hal ini, aku pernah berkonsultasi dengan Tuti Nonka, dan dia menyarankan supaya diceritakan saja secara realitas.
    Mohon maaf ya mbak, kalau kurang berkenan, dan terima kasih atas komentarnya.
    .

  4. whuahaha saya baca komennya Mbak Tuti sm balesan komennya Pak Sony jd ketawa2 😆
    jaman dulu bnr2 ya, ga kebayang saya..

    Sis:
    Kami kan satu perguruan Id, jadi ilmunya hanya beda-beda tipis….he..he..he..

  5. Mati aku! Namaku kok disebut-sebut sebagai konsultan ‘kisah dewasa’ … hihihi ….
    Wah, aku lupa lho Bang, kalau pernah menjadi konsultan soal beginian.

    Btw, menurutku, jika kain tenun putih itu memang adat, ya nggak apa-apa diceritakan, cuma nggak perlu detil-detil amat … sampai ada cerita tentang ‘helaan nafas’ dan ‘keringat’ segala ….

    Hwahahaa … aku ketawa ngakak, Bang Sis kok nulis cerita beginian … hehehe …

    Sis:
    Aku jadi mikir, apa sebaiknya posting bagian kedelapan ini di delete aja ? Tapi gimana nanti di bagian empat belas, kan ada dialognya disana ?
    Ntar deh kupertimbangkan dulu. Padahal menurutku udah ditulis sehalus-halusnya. Tapi gimana ya, yang baca Tuti ama Mbak Dyah yang sudah pakarnya, jadi bisa diselaminya ke dasar-dasarnya. Atau masalah keringat itu aja yang dihapus ya.

  6. Wah,
    seru bener nih ceritanya… 🙂

    Aku tertarik sama ceker-nya tuh.
    Pantes aja aku hobby keluyuran, wong doyan banget maem ceker.. hehehe…
    Sis:
    Kalau jadi Pilot atau Kapten Kapal, termasuk nyeker juga itu Jeung. Tap termsk tukang ojek dan abang becak. (Doyan ama pilot atau yang lain?)

  7. wleh-wleh-wleh……
    hobby nyeker, apa makanya ceker ayam yah ?

    Sis:
    Pertanyaannya untuk Jeung Lala Purnomo kan ? Dia mau nyeker di karpet merah, dan makan ceker ayam (plus yang lain-lain) di Restoran Jimbaran.

  8. Lho, jangan di delete artikelnya, Bang. Di delete detil-detil yang bikin ‘sesak nafas’ saja … hehehe …
    Tapi terserah Bang Sis. Namanya orang komentar, kan boleh saja, nggak usah terlalu dihiraukan ke’resah’an aku dan Mbak Dyah …

    Sis:
    Sebenanya kalau orang lain ang komentar, aku ngga apa-pa, tapi berhubung yang resah dan gelisah ini adalah dua orang wanita yang kuhormati dan saaaaaaaaaaangat kusayangi, makanya aku mikir-mikir, (seperti terdakwa menuju terpidana disuruh hakim mikir-mikir). Tapi dalam waktu dekat akan ada keputusan.

  9. saya suka ma paha ayam dan hatinya bang
    enak banget tu…

    mudah2an saya jg bisa kuat menopang harga diri. kalau hatinya pas banget dgn saya yg manja dan mau menang sendiri.

    cerita malam pertamanya jg asyik dan menarik bang, hehee…..

    @jeunglala : jgn kebanyakan makan ceker, ntar nyeker terus kerjaannya 🙂

    Sis:
    Hati itu memang lambang kemanjaan dan keras kepala (tapi rasanya enak ya). Trus ceker itu melambangkan: orang yang tidak pernah kelaparan tapi tidak akan menjadi orang yang kaya raya. Karena ayam setiap mengkais baru makan, yang sudah menumpuk dihadapannya pun dikaisnya juga untuk memanggil anak-anaknya makan…. jadi berserakan deh. Tapi tak pernah kelaparan…makanan tersedia terus. Kalau Paha ayam,lambang kerja keras dan teguh pendirian.
    @ Hayo lari… Jeung Lala mengejar kita siap siap melempar pakai terompah kayu tuh…….

  10. Kisahnya menarik untuk dibaca.

    Sis:
    Trims ya, udah mampir di halam rumahku.

  11. bagus….lucu..juga..

    Sis:
    Terima kasih atas komentarnya yaaaaaaaaaa mbak.

  12. […] SUMBER […]


Tinggalkan komentar

Kategori